PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Behaviorisme
merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme
memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan
aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional
atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya
dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
definisi teori belajar psikologi behavioristik?
2. Bagaimana
konsep teori belajar behavioristik?
3. Bagaimana
implikasi dari teori-teori belajar tersebut?
C.
Tujuan
Tujuan pembelajaran menurut teori
behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi
aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/ buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
PEMBAHASAN
A. Teori
Behaviorisme
1.
Pengertian
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai
prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan
penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa
belajar.[1]
Teori pembelajaran behaviorisme di bedakan antara teori pelaziman klasik
(classical conditioning), dan teori pelaziman
operan (operqnt conditioning).[2]
Menurut
teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan
keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas, stimulus adalah
apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat
peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa,
sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di
antara stimulus dan respon dianggap tidak penting. Oleh sebab itu, apa saja
yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons),
semuanya harus dapat diamati dan diukur.[3]
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah
laku manusia.[4] Pengalaman-pengalaman
batin di kesampingkan. Dan hanya perubahan gerak gerik pada badan sajalah yang
di pelajari. Maka sering kali dikatakan bahwa kaum behaviorisme ini adalah
psikolog tanpa Jiwa.[5]
Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement
dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan
yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut
pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkah laku adalah hasil belajar.[6]
2.
Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behaviorisme
a.
Ivan Petrovich Pavlov
(1849-1936)
Ivan Petrovich
Pavlov mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi, ternyata individu dapat
dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk
mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.[7]
Pavlov mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan
ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada
anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di
kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu
terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri
di bank. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi
karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.
b.
Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang
disebut stimulus dan respon.[8] Dalam hal
ini Thorndike melakukan eksperimen dengan sebuah puzzlebox. Eksperimen yang
dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang
apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar
disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Atas dasar percobaan di atas, Thorndike menemukan hukum-hukum belajar : Hukum Kesiapan
(Law of Readiness), Hukum Latihan, Hukum akibat ( Efek )
c.
Skinner (1904-1990)
Skinner
menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar.
Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah
laku[9].
Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak
akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant
conditing menjamin respon terhadap stimuli. Guru memiliki peran dalam
mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan
yang telah di rumuskan.[10]
3.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Menurut saya Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar
sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment
menjadi stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku. Pandangan teori
behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan
faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak
mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan
yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda
tingkat kesulitannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pernyataan di atas saya menyimpulkan bahwasannya, Kaum
Behaviorisme berpandangan perilaku manusia itu terbentuk melalui perkaitan
antara rangsangan (stimulus) dengan tindak balas (respons). Menurutnya perilaku
adalah sesuatu yang dapat di amati dengan alat indera. Pembelajaran merupakan
proses pembentukan perkaitan antara rangsangan dan tindak balas atau
stimulus-respons. Dengan demikian, maka perubahan perilaku itu lebih banyak
karena pengaruh lingkungan. Menurut
teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan
keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas, stimulus adalah
apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat
peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa,
sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori ini apa yang terjadi di antara
stimulus dan respon dianggap tidak penting. Oleh sebab itu, apa saja yang
diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya
harus dapat diamati dan diukur. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pembelajar
untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan
peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor
yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau
shaping. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan
respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran
atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
[2]
Prof. Dr. H. Mohammad surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran,(
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004) 22.
[3] Asri Budiningsih, Belajar dan
Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 20.
[4]
Margaret E. Bell Gredle,Belajar dan Membelajarkan,(Jakarta: CV Rajawali
Press, 1991), 44.
[5] Drs. Abu ahmadi dan Drs. M. Umar M.A, Psikologi Umum, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1992),32.
[6]
Drs. M. Dalyono, Psikologi Pendidikan,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997),
30.
[8]
Drs. M. Dalyon. Ibid., 31.
[9]
Drs. M. Dalyon. Ibid., 32.
[10]Drs. M. Dalyon. Ibid., 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar