PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nadzar
secara bahasa berarti janji.[1]
Sedangkan nadzar secara istilah syariat
dapat diartikan sebagai perbuatan seorang mukalaf (orang yang telah terbebani
syari’at) yang mengharuskan dirinya dengan satu bentuk ibadah, yang mana
sesuatu itu pada asalnya tidak wajib atas orang tersebut.[2]
Nadzar
merupakan salah satu bentuk dari ibadah, yang tidak boleh dilakukan kecuali
hanya karena Allah. Barangsiapa yang bernazar untuk kuburan atau raja atau nabi
atau wali, maka ia sama saja telah syirik kepada Allah dan keluar dari agama
Allah. Karena, dengan demikian ia sama saja telah beribadah kepada selain
Allah. Barangsiapa yang bernazar demi dan untuk kuburan orang-orang yang saleh
atau para wali yang sering terjadi selama ini, maka ia sama saja ia telah
menyekutukan Allah. Perbuatan itu termasuk perbuatan syirik yang besar.[3]
Para
ahli fiqih memberikan syarat bahwa nazar itu di anggap syah jika orang yang
bernazar yaitu :
1. Orang
yang telah baligh
2. Berakal
3. Tidak
dalam kondisi di paksa.[4]
B.
Macam-macam Nadzar
Nadzar yang diperbolehkan dalam
syariat ada 5, yaitu:
1. Nazar
mutlak. Misalnya dengan mengatakan, “demi Allah saya bernazar”, dan pada saat
itu ia tidak menyebutkan sesuatu yang di nazarkan. Ketika ia tidak menunaikan
nazarnya, maka ia harus membayar kafarat sumpah, baik nazar itu mutlaq
(general) atau mu’allaq (spesifik).[5]
Hal ini sebagaimana yang di riwayatkan
oleh Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah bersabda,
وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ
عَامِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (
كَفَّارَةُ اَلنَّذْرِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَزَادَ
اَلتِّرْمِذِيُّ فِيهِ: ( إِذَا لَمْ يُسَمِّ ) وَصَحَّحَه
Dari Uqbah Ibnu Amir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kafarat nadzar adalah (sama
dengan) kafarat sumpah." Riwayat Muslim. Tirmidzi menambahkan di dalamnya:
"Jika ia belum menentukan nadzarnya." Hadits shahih menurutnya.[6]
Dan ada juga yang mengatakan hadist
ini hasan shahih gharib. Hadist ini menunjukkan bahwa wajib menunaikan kafarat
lillahi ta’ala meskipun tidak
menyebutkan apa yang ia nazarkan.
2.
Nazar amarah dan terpakasa (keras kepala). Yaitu seseorang yang
menyertai nazarnya dengan larangan atau ancaman atau ingin membuktikan
kebenaran atau kebohongan, dengan mengatakan, “jika kamu bicara (jika aku
tidak memberitahumu, jika berita ini tidak benar atau jika ini bohong), maka
aku bernazar untuk pergi haji atau memerdekakan budak”. Misalnya, jika ini terjadi, maka kafaratnya bias
memilih antara sumpah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadist Amran
bin Husain bahwa Rasulullah bersabda :
لا نذرفي غضب ٬ وكفارته كفرة يمين
“tidak
ada nazar dalam keadaan marah, jika terjadi, maka kafaratnya adalah kafarat
yamin (sumpah).” (HR Sa’id)
3.
Nazar tersebut temasuk nazar yang di perbolehkan. Yang dimaksud
dengan nazar mubah misalnya bernazar untuk memakai pakaiannya atau menaiki
hewan peliharaannya. Dalam hal ini, ia bias memilih antara melakukan apa yang menjadi nazarnya
atau menunaikan kafarat sumpah jika ia tidak melaksanakan nazarnya. Ketentuan
sebagaimana yang ada pada kategori jenis nazar yang nomor dua. Syekhul Islam
Ibnu Taimiyyah memilih untuk tidak ada tanggungan apapun dalam nazar yang
mubah. Sebagaimana yang di riwayatkan oleh imam bukhari bahwa saat Nabi saw.
Berceramah, tiba-tiba seorang laki-laki berdiri di bawah terik matahari. Nabi
bertanya : “kenapa?” mereka menjawab : “Abu Israil, ia bernazar untuk berdiri
di bawah terik matahari tanpa perlindungan. Ia tidak akan berbicara dan akan
berpuasa.” Nabi mengatakan,
مروه فليتكلم٬وليستظل٬وليقعد٬وليتم صومه
“Surulah
ia untuk bicara, berteduh, duduk dan menyempurnakan puasanya.”[7]
4.
Nazar maksiat, seperti jika seorang bernazar untuk minum khamar
atau melaksanakan puasa saat sedang haid atau pada hari tasyrik. Nazar yang seperti
ini tidak boleh di laksanakan.
َوَلِلْبُخَارِيِّ: مِنْ
حَدِيثِ عَائِشَةَ ( وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اَللَّهَ فَلَا يَعْصِهِ )
Menurut Hadits riwayat Bukhari dari 'Aisyah r.a: "Barangsiapa
bernadzar hendak maksiat kepada Allah, janganlah ia melakukan maksiat
tersebut."[8]
Hadist diatas
menunjukkan bahwa tidak boleh melaksanakan nazar yang berupa perbuatan maksiat.
Sebab, maksiat itu tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun. Barangsiapa yang
bernazar dengan naxzar maksiat, seperti bernazar untuk kuburan atau
penghuninya. Maka ia telah melakukan syirik besar, sebagaimana yang telah
dijelaskan di depan. Sebagian ulama mengatakan bahwa ia harus menunaikan
kafarat sumpah. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, Imran bin Hushain, dan Samrah bin jundab.
Jamaah ulama
berpendapat bahwa nazar maksiat itu tidak berlaku. Maka, pelakunya tidak harus
melaksanakan kafarat. Pendapat ini adalah riwayat Ahmad serta mazhab imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi’i. pendapat ini juga disetujui oleh Imam Ibnu Taimiyyah.
Ia mengatakan “Barang siapa yang menyembah kuburan atau orang yang dikuburkan
atau gunung atau pohon atau bernazar untuknya atau untuk penghuninya atau yang
datang ke tempat itu, maka tidak boleh dilakukan. Nazar itu tidak boleh di
penuhi menurut ijma’ dan harus melakukan suatu kebaikan.”
5.
Nazar kebaikan, yaitu nazar untuk ketaatan. Misalnya nazar untuk
shalat, puasa, haji, dan yang lainnya. Baik nazar tersebut disebutkan secara
mutlaq (tidak di tentukan syaratnya), seperti jika mengatakan : “Aku bernazar
lillahi ta’ala untuk melaksanakan shalat” atau
puasa atau menentukan syarat-syarat tertentu, seperti jika mengatakan,
“Jika Allah menyembuhkan penyakitku, aku bernazar untuk….” Jika disertai syarat
tertentu, maka ia harus memenuhi nazar tersebut bila syarat ia tentukan telah
terpenuhi.
Allah berfirman,
tbqèùqã
Íõ¨Z9$$Î/
tbqèù$ssur
$YBöqt
tb%x.
¼çn°
#ZÏÜtGó¡ãB
ÇÐÈ
Artinya
: mereka menunaikan Nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di
mana-mana.[9]
C.
Hukum Nadzar
Dalam kitab fiqih sehari-hari
menyebutkan, bahwasannya hukum nazar adalah makhruh. Bahkan, ada sekelompok
ulama yang mengharamkan hal ini. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ibnu Umar
bahwa nabi saw. Melarang kita bernazar. Beliau bersabda :
َوَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, ( عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ نَهَى
عَنْ اَلنَّذْرِ وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ
بِهِ مِنْ اَلْبَخِيلِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
ber-nadzar, beliau bersabda: "Ia tidak mendatangkan kebaikan, ia hanya
dikeluarkan oleh orang bakhil." Muttafaq Alaihi.[10]
Sebab orang yang bernadzar telah mengharuskan sesuatu
yang tidak di haruskan oleh syariat. Mereka telah berusaha membebani diri
mereka dengan mazar ini. Padahal, yang seharusnya di lakukan oleh seorang
mukmin adalah melaksanakan sesuatu yang baik tanpa harus bernazar. Akan tetapi,
jika ia bernazar untuk ketaatan Allah, maka ia harus menepatinya. Allah berfirman
dalam Q.S al-Insaan ayat 7 yang berbunyi :
tbqèùqã
Íõ¨Z9$$Î/
tbqèù$ssur
$YBöqt
tb%x.
¼çn°
#ZÏÜtGó¡ãB
ÇÐÈ
Artinya :mereka
menunaikan Nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.
Allah berfirman dalam mendeskripsikan
orang-orang yang baik, dalam Q.S Al-Baqarah ayat 270 yang berbunyi :
!$tBur
OçFø)xÿRr&
`ÏiB
>ps)xÿ¯R
÷rr&
Nè?öxtR
`ÏiB
9õ¯R
cÎ*sù
©!$#
¼çmßJn=÷èt
3
$tBur
úüÏJÎ=»©à=Ï9
ô`ÏB
A$|ÁRr&
ÇËÐÉÈ
270. apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu
nazarkan[171], Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. orang-orang yang berbuat
zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.
[171] Nazar Yaitu
janji untuk melakukan sesuatu kebaktian terhadap Allah s.w.t. untuk mendekatkan
diri kepada-Nya baik dengan syarat ataupun tidak.
Selain itu di
dalam Q.S al-Hajj ayat 29 juga disebutkan Firman Allah yang di berbunyi :
¢OèO
(#qàÒø)uø9
öNßgsWxÿs?
(#qèùqãø9ur
öNèduräçR
(#qèù§q©Üuø9ur
ÏMøt7ø9$$Î/
È,ÏFyèø9$#
ÇËÒÈ
29. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran[987] yang
ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar
mereka[988] dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah
yang tua itu (Baitullah).
[987] Yang
dimaksud dengan menghilangkan kotoran di sini ialah memotong rambut, mengerat
kuku, dan sebagainya.
[988] Yang
dimaksud dengan Nazar di sini ialah nazar-nazar yang baik yang akan dilakukan
selama ibadah haji.[11]
Dalam hadist shahih di jelaskan bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda :
َوَلِلْبُخَارِيِّ:
مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ ( وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اَللَّهَ فَلَا يَعْصِهِ )
Menurut Hadits riwayat Bukhari dari 'Aisyah r.a: "Barangsiapa
bernadzar hendak maksiat kepada Allah, janganlah ia melakukan maksiat
tersebut."[12]
Imam Ibnu Qayyim berkata, “Sumpah
untuk taat kepada Allah tidak pernah lepas dari empat macam yaitu dengan sumpah
saja atau nazar saja atau sumpah di sertai nazar atau nazar yang di kuatkan
dengan sumpah. Allah berfirman dalam Ayat Suci al-Qur’an surat at-Taubah ayat
75 yang berbunyi :
*
Nåk÷]ÏBur
ô`¨B
yyg»tã
©!$#
ïúÈõs9
$oY9s?#uä
`ÏB
¾Ï&Î#ôÒsù
£`s%£¢ÁoYs9
£`tRqä3uZs9ur
z`ÏB
tûüÅsÎ=»¢Á9$#
ÇÐÎÈ
75. dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada
Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada
Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang-orang yang
saleh.
Maka, bagi orang
yang bersumpah agar memenuhinya, jika tidak, maka ia akan masuk dalam Firman
Allah pada surat at-Taubah ayat 77 yang ber bunyi sebagai berikut :
öNåkz:s)ôãr'sù
$]%$xÿÏR
Îû
öNÍkÍ5qè=è%
4n<Î)
ÏQöqt
¼çmtRöqs)ù=t
!$yJÎ/
(#qàÿn=÷zr&
©!$#
$tB
çnrßtãur
$yJÎ/ur
(#qçR$2
cqç/Éõ3t
ÇÐÐÈ
Artinya
: Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu
mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang
telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.[13]
Pendapat yang paling kuat mengenai hukum nadzar adalah haram.
Berdasarkan larangan dalam sabda Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam. Hukum asal
pada suatu larangan adalah haram. Selain itu, nadzar juga merupakan perbuatan
yang membebani diri dengan sesuatu yang Allah tidak bebankan kepada manusia.
Oleh karena itu, sering kita jumpai banyak orang-orang yang bernadzar tidak
menunaikan nadzar mereka, perbuatan ini tentunya berbahaya bagi mereka.[14]
Mayoritas orang, bilamana dihimpit oleh kesulitan yang menyesakkan, mereka menadzarkan sesuatu yang berat -dengan harapan semakin berat nadzar, akan lebih cepat pengabulan doa- namun pada akhirnya mereka merasa terbebani dalam penunaiannya. Ini benar-benar masalah yang sangat serius.
Mayoritas orang, bilamana dihimpit oleh kesulitan yang menyesakkan, mereka menadzarkan sesuatu yang berat -dengan harapan semakin berat nadzar, akan lebih cepat pengabulan doa- namun pada akhirnya mereka merasa terbebani dalam penunaiannya. Ini benar-benar masalah yang sangat serius.
Di
kitab lain di sebutkan bahwasannya larangan untuk melakukan nadzar, imam muslim
meriwatakan sebagai berikut :
لا تنذروافإن النذرلايغني من القدرشيأ
Artinya:
“Janganlah kalian bernadzar, karena nadzar tidak dapat bermanfaat sedikitpun
terhadap taqdir”
Maksudnya
ialah tidak boleh bernadzar dengan tujuan mengalihkan taqdir Allah atau
mendapatkan sesuatu yang tidak di taqdirkan oleh Allah.[15]
Beberapa
contoh nadzar dan penjelesan hukumnya :
Bersumpah, artinya menguatkan suatu obyek
pembicaraan dengan menyebut sesuatu yang diagungkan dengan lafazh yang khusus.
Yaitu dengan menggunakan salah satu di antara huruf sumpah ba`, wawu, atau ta`
(dalam bahasa Arab). Yakni dengan mengatakan billahi, wallahi, atau tallahi,
yang artinya demi Allah. Dengan demikian, di dalam sumpah terkandung sikap
pengagungan kepada yang namanya disebut dalam sumpah tersebut. Sedangkan
pengagungan termasuk jenis ibadah yang tidak boleh ditujukan, kecuali hanya
kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, bersumpah adalah ibadah yang hanya
boleh ditujukan kepada Allah saja dengan mengatakan demi Allah saja!
Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama Allah
adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan
kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu
'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh
dia telah kafir atau musyrik". Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut
selain nama Allah -yang dianggap musyrik- maksudnya, mencakup segala sesuatu
selain Allah, baik itu Ka'bah, rasul, langit, malaikat dan lain-lain. Misalnya,
yaitu dengan mengatakan “demi Ka'bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”,
demi cintaku kepadamu, demi langit yang luas, dan seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-fauzan
Saleh. Fiqih sehari-hari. Jakarta
: Gema Insani. 2006.
Al-
Ghazali Muhammad. Fathul Qarib. Bandung : Tri Genda Karya, 1995.
http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_3210.shtml
Ibnu hajar al-asqalany Al-hafidh imam. Bulughul
Maram. Surabaya :Pustaka Al-Hidayah. 2008.
Nawawi Imam dan
Al-Qasthalani, Kumpulan Hadist Qudsi. Yogyakarta: Al-Mannar. 2009.
[1] Muhammad al- Ghazali, Fathul Qarib, (Bandung : Tri Genda
Karya, 1995), 312.
[3]
Saleh al-fauzan, Fiqih sehari-hari, (Jakarta : Gema Insani, 2006), 903.
[4]
Saleh al-fauzan, Fiqih sehari-hari, ibid., 905.
[5]
Saleh al-fauzan, Fiqih sehari-hari, ibid., 905.
[6]
Al-hafidh imam Ibnu hajar al-asqalany, Bulughul
Maram, (Surabaya :Pustaka Al-Hidayah,
2008), 285.
[15] Imam Nawawi dan Al-Qasthalani, kumpulan hadist Qudsi,
(Yogyakarta: Al-Mannar, 2009), 421.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar