Pengikut

Senin, 15 Oktober 2012

tasyri' pada zaman Rasulullah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Tasyri’ secara istilah adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.[1] Melihat dari makna tasyri’ tersebut maka mucul sebuah persmasaalahan yang perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang hidup penuh dengan kemaksiatan serta belum memiliki sebuah aturan baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah tasyri’.
Melihat kondisi tersebut, maka Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (tasyri’) ini tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, khulafaurrasyidin, tabiin dan sterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini penulis hanya memaparkan tentang penegakan syariat Islam(tasyri’) pada periode Rasulullah saja.
Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah. Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan tasyri’ yang dibawa oleh Rasulullah ini. Karena corak kehidupan Mekkah dan Madinah sangatlah jauh berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang dari aturan atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit untuk menerima hal-hal yang baru dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama kali ditanamkan dalam hati mereka adalah hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan keadaan masyarakat Madinah yang sangat mudah menerima Islam, bahkan mereka menerima kedatangan Rasulullah dengan senang hati. Sehingga pembentukan tasyri’ pada masa ini dirasa jauh lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah, dan pada masa inilah hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi tasyri’.
Al-quran dan hadist pada periode ini menjadi sebagai sumber penetapan tasyri’, kemudian permasaalahan yang muncul adalah keterkaitan dengan ijtihad pada masa ini, apakah ijtihad juga menjadi sumber tasyri’ saat itu.
Dalam bidang hukum, bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya, seperti dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan yaitu: istibdla, poliandri, maqthu’, badal, dan shigar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Arab pra-Islam cenderung merendahkan martabat perempuan, oleh sebab itu maka ditetapkanlah hukum Islam pertama kali oleh Rasulullah untuk menjadi solusi bagi umat Islam dalam menentukan suatu hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits sehingga membawa dampak positif bagi umat Islam di dunia khususnya di Arab itu sendiri.
Melihat berbagai latar belakang diatas, maka penulis dapat merangkaikan rumusan masalah sebagai berikut:
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana tasyri’ pada periode Rasulullah ?
2.      Apa saja sumber tasyri’ pada periode Rasulullah?
  1. Bagaimana cara pembinaan hukum Islam pada masa Rasulullah?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui tasyri’ pada periode Rasulullah
2.      Mengetahui sumber tasyri’ periode Rasulullah
3.      Mengetahui bagaimana cara pembinaan hukum Islam pada masa Rasulullah.















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tasyri’ Pada Periode Rasulullah
Periode Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Akan tetapi hal itu membawa pengaruh besar dan hasil yang gemilang, karena telah meninggalkan nash-nash hukum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Periode ini meninggalkan sejumlah dasar tasyri’ yang menyeluruh, yaitu sejumlah sumber hukum dan dalil untuk mengetahui sesuatu yang tidak ada nash hukumnya.[2]
Dalam periode Rasulullah terdiri atas dua fase yang berlainan, yaitu:
  1.  Fase Rasul berada di Mekkah.
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan.[3]
            Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah. Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat  al-quran yang turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
            Kebanyakan ayat-ayat  al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada umat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
            Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
            Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
a.       Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat Mekkah.
b.      Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting.[4] Mekkah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan sampai utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekkah adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.
Karena adanya tekanan dari masyarakat yang benci terhadap Islam begitu kuat, akhirnya Rasulullah beserta pengikutnya memutuskan hijrah ke Madinah. Setelah hijrah, barulah fase Madinah dalam tasyri’ dimulai.
2. Fase Madinah.
Yakni selama kira-kira 10 tahun berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Pada fase ini Islam terbina menjadi umat, membentuk pemerintahan, dan media-media dakwah telah berjalan lancar. Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang.[5] Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula hubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan.[6] Oleh karena itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariat pada periode ini.[7] Pertama adalah : metode Nabi dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam turun secara global Nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Seperti ketika Nabi salat, para sahabat melihat salat nabi dan mereka mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri ketika mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap (periodik). Maksudnya pembentukan kondisi masyarakat yang layak dan siap dan menerima Islam harus menjadi prioritas yang diutamakan.
Dengan keadaan masyarakat yang demikian, yang disyariatkan pada fase Madinah adalah hukum kemasyarakatan yang mencakup: muamalat, perkawinan, utang-piutang, perjanjian, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumpah, dan peradilan.
Sebagaimana terdapat pada surat-surat madaniyah dalam Al-Qur’an, seperti: al-Baqarah, al-Imran, al-Nisa, al-Maidah, al-Anfal, dan al-Ahzab.[8]
B.   Pengendali Kekuasaan Tasyri’ pada Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah, pengendali kekuasaan tasyri’ adalah Rasulullah sendiri. Tidak seorangpun umat Islam selain Rasulullah sendiri yang mentasyri’kan hukum pada suatu kejadian, baik untuk dirinnya maupun untuk orang lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam langsung ditanyakan dan diberi kata putus oleh Rasulullah, dan tidak ada masyarakat yang berani melakukan ijtihad sendiri. Rasulullah memberi fatwa, menyelesaikan persengketaan, menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an yang di wahyukan oleh Allah kepada beliau, dan tidak jarang pula dengan cara ijtihad Rasulullah yang bersandar kepada ilham dari Allah, atau berdasar kepada petunjuk akalnya. Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah kemudian menjadi tasyri’ bagi umat Islam dan merupakan undang-undang yang wajib diikuti, baik hal itu bersumber dari Allah maupun dari ijtihad Rasulullah sendiri.
Meskipun demikian tetap saja ada beberapa sahabat yang melakukan ijtihad sendiri untuk memutuskan persengketaan pada sebagian peristiwa hukum, misalnya:
1.      Ali ibn Abi Thalib telah diutus oleh Rasulullah ke Yaman sebagai qadhi. Rasulullah bersabda kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menunjuki hatimu dan meneguhkan lisanmu. Jika di hadapanmu duduk dua orang yang bersengketa, janganlah engkau memberi keputusan hukum hingga engkau mendengar keterangan dari pihak kedua sebagimana engkau telah mendengar keterangan dari pihak pertama, karena hal itu lebih memelihara jelasnya keputusanmu.”
2.      Suatu ketika, ada dua orang sahabat sedang dalam perjalanan. Kemudian datang waktu shalat sedangkan keduanya tidak mendapatkan air. Yang seorang berijtihad dengan berwudlu dan mengulangi shalatnya, sedangkan temannya berijtihad bahwa shalat yang dilakukan itu sudah mencukupi dan tidak perlu mengulang shalat lagi.
3.      Suatu ketika Rasulullah bersadbda kepada ‘Amr ibn Ash, “putuskanlah perkara ini.” ‘amr menjawab: “Apakah saya boleh berijtihad, sedangkan tuan ada di depanku?” Rasul menjawab, “Ya, jika betul maka engkau mendapat dua pahala, dan jika keliru maka engkau mendapat satu pahala.”
Contoh kasus diatas mempunyai pesan bahwa seseorang (sahabat) selain Rasulullah boleh melakukan ijtihad hanya dalam situasi yang sangat khusus dan mendesak saja. Keputusan para sahabat dalam kasus diatas hanya bersifat penerapan hukum, bukan berupa tasyri’ dan bukan pula undang-uundang yang ditetapkan untuk umat Islam, kecuali dengan ketetapan dari Rasulullah. 
C.    Sumber perundang-undangan (tasyri’ pada periode Rasulullah SAW)
Perundang-undangan di masa Rasulullah bersumber dari dua hal, yaitu wahyu Allah dan ijtihad Rasulullah sendiri. Apabila muncul permasalahan yang menghendaki peraturan seperti perselisihan, peristiwa hukum, pertanyaan, atau permintaan fatwa, maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya satu atau beberapa ayat yang memuat hukum yang dikehendaki. Kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu yang lantas menjadi undang-undang yang wajib diikuti itu kepada umat Islam. Namun apabila timbul sesuatu hal yang memerlukan peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan kepada Rasulullah ayat yang menjelaskan hukum dimaksud, maka rasulullah berijtihad untuk mengetahui hukumnya. Hasil ijtihadlah yang dipergunakan untuk memberi keputusan, atau memberi fatwa hukum, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan, atau menjawab permintaan fatwa hukum. Sehingga ijtihad Rasulullah menjadi peraturan yang wajib diikuti, di samping undang-undang Allah.
Jika kita meneliti ayat-ayat hukum yang termuat dalam Al-Qur’an dan riwayat para ahli tafsir tentang sebab turunnya masing-masing ayat, maka nampak jelas bahwa tiap-tiap hukum Al-Qur’an itu disyariatkan untuk sesuatu kejadian yang memerlukan ketetapan hukum. Sebagai contohnya:
1.        Qs. al-Baqarah ayat 217 dan 219
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã ̍ök¤9$# ÏQ#tysø9$# 5A$tFÏ% ÏmŠÏù ( ö@è% ×A$tFÏ% ÏmŠÏù ׎Î6x. (

 “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar.” (217)
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”(219)
2.      Untuk mengatasi persengketaan yang sering terjadi dalam masalah harta warisan, maka disyariatkanlah hukum warisan.
3.      Untuk mengatasi kebingungan yang menimpa sebagian suami ketika disyariatkan hukuman qadzaf(menuduh berzina), maka disyariatkanlah hukum mula’anah antara suami dan istri.
4.      Begitu pula hal-hal lainnya tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an.
D.    Pembinaan Hukum Islam pada Masa Rasulullah
Al-Qur’an mempermaklumkan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan hanyalah untuk memperbaiki hal ihwal manusia. Oleh karena itu maka datanglah seruhan-seruhan dan larangan-larangan:
NèdããBù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tƒur Ç`tã ̍x6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“Nabi menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk-buruk.”(Qs. al-A’raf:157).[9]
Dalam pembinaan hukum Islam telah dipelihara empat dasar (asas):
1.    Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Berangsur-angsur ini berlaku dalam masa tasyri’ dan berlaku pula dalam macam-macam hukum yang disyariatkan. Hikmah dari berangsur-angsurnnya masa turunnya hukum ialah agar secara bertahap mudah diketahui isi undang-undangnya, materi demi materi, dan mudah dipahami hukum-hukumnya secara sempurna, dengan berpijak kepada peristiwa dan situasi yang memerlukan penetapan hukum.   
Adapun tujuan hukum diturunkan dan disyariatkan secara berangsur-angsur adalah agar segenap umat pada masa pertama memeluk agama Islam tidak dibebani sesuatu yang menyusahkan, baik yang ingin dikerjakan maupun ingin ditinggalkan, sehingga segenap umat bersedia menerima dan taklif. 
Sebagaimana ketika Rasulullah ditanya masalah khamer dan judi, sedang keduanya termasuk adat-istiadat yang kokoh dikalangan mereka. maka beliau menjawab mereka dengan ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah: 219
 y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
ayat tersebut tidak menjelaskan tuntutan untuk meninggalkannya, tetapi disuruh untuk memahaminya terhadap perbuatan yang tidak banyak manfaatnya. kemudian Al-Qur’an menjelaskan kepada mereka tentang shalat dalam keadaan mabuk sehingga mereka tidak mengetahui apa yang mereka katakan. Allah berfirman dalam surat an-Nisa: 43
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?
  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Larangan ini tidaklah membatalkan kepada yang pertama bahkan dia menguatkannya. Kemudian Al-Qur’an menjelaskan larangan sebagai keputusan secara tegas kepada suatu hukum. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah: 90:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
2.    Mengefisienkan pembuatan undang-undang.
Disini hukum-hukum disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya sekedar menurut kebutuhan-kebutuhan hukum yang diperlukan, serta merespon kejadian yang mengharuskan adanya hukum. Hikmah pembinaan dari tasyri’ ini adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan mewujudkan kemaslahatan, maka sebaiknya pada tiap masa peraturan itu dibatasi sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan zamannya, sehingga orang-orang yang terdahulu, kini, dan yang akan datang, tidak menemukan kesulitan akibat peraturan-peraturan diluar kebutuhan dan kemaslahatan mereka.
Diantara prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam syariat Islam ialah bahwa hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan. Untuk itu segala binatang dan benda atau perjanjian atau transaksi yang tidak disyariatkan hukumnya oleh dalil syara’ adalah boleh. Atas dasar inilah maka dengan mengefisienkan undang-undangpun tidak mendatangkan kesempitan. Permasalahan apapun yang tidak ada peraturan undang-undangnya, maka hukumnya boleh berdasarkan ibahah ashliyah(kebolehan menurut asal).
3.    Memberi kemudahan dan keringanan.
Prinsip ini paling menonjol dalam perundang-undangan hukum Islam. Dalam banyak hal, hukum-hukum itu tujuannya adalah memberi kemudahan dan keringanan bagi para mukallaf.
Dalam keadaan khusus dimana hukum ‘adzimah mendatangkan kesulitan, maka disyariatkanlah hukum rukhshah (keringanan). maka dibolehkanlah hal-hal yang terlarang ketika terjadi darurat, dan dibolehkan meninggalkan perbuatan wajib jika untuk menunaikannya terdapat kesulitan. Adanya paksaan, keadaan sakit, bepergian, khilaf, lupa, dan ketidaktahuan, merupakan alasan untuk keringanan hukum. 

Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 185:
 ßƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Pada ayat lain Allah juga berfirman dalam surat al-Hajj: 78:
u$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4
“Dia(Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
4.    Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Bukti adanya prinsip ini adalah bahwa syari’ (pembuat undang-undang) banyak memberikan ta’lil hukum dengan kemaslahatan manusia sebagai ‘illat hukum. Syara’ menetapkan bahwa hukum-hukum yang ada berdasarkan ‘illat akan berputar bersama ‘illatnya, yaitu adanya ‘illat menetapkan adanya hukum dan tidak ada ‘illat meniadakan hokum. untuk ini Allah mensyariatkan sebagian hukum, kemudian membatalkan dan menghapusnya, Karena kemaslahatan mengharuskan perubahan yang demikian.
Salah satu contohnya, mula-mula Allah mewajibkan menghadap Baitul Maqdis ketika shalat, kemudian hukum ini dihapuskan dan diganti dengan perintah menghadap Ka’bah ketika shalat.  
Adanya penghapusan hukum, penggantian hukum, dan perubahan hukum, menjadi bukti bahwa perundang-undangan dalam Islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat manusia. Untuk memeliharanya maka pembuat undang-undang memperhatikan ‘urf (adat kebiasaan masyarakat diwaktu peraturan berlaku) selama adat istiadat tersebut tidak merusak salah satu dasar dari pokok agama. Oleh karena itu syari’ (pembuat undang-undang) memperhatikan adanya kafa’ah (keseimbangan, kufu) dalam perkawinan, memperhatikan ‘ashabah dalam hukum pewarisan dan perwalian, serta mewajibkan pembayaran diyat (denda).
Demi kemaslahatan umat manusia, maka perlu diperhatikan adat kebiasaan serta hal-hal yang biasa dilakukan masyarakat setempat (lokal), selama yang demikian itu tidak berlawanan dengan pokok-pokok agama serta tidak mendatangkan kemudharatan.[10]








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pada periode Rasulullah pembentukan tasyri’ terbagi menjadi 2 yaitu:
a.       Periode Makkah
Pada periode makiyyah Rasulullah lebih memfokuskan kepada pembentukan Akidah dan moral masyarakat makkah yang bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat mekkah pada masa itu. Contohya, kebiasaan masyarakat mekkah  menyembah berhala, berjudi, meminum khamer, membunuh bayi perempuan, dan berzinah. Setelah diangkatnya Nabi Muhammad dan berdakwah secara terang-terangan barulah terbentuk Hukum Islam yang mengajak masyarakat mekkah untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan terdahulu, dan menyembah kepada Allah SWT.
Ketika Rasulullah mengajak masyarakat makkah untuk menyembah Allah dan meninggalkan kebiasaan nenek moyang terdahulu, terdapat perlawanan dari masyarakat mekkah yang membenci ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad sehingga Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Inti pembentukan Hukum pada periode Makkiyah adalah membentuk akidah yang sesuai dengan ajaran Islam, dan menyembah kepada Allah SWT.
b.      Periode Madinah
Berbeda dengan periode sebelumnya pada periode madinah sudah banyak masyarakat yang memeluk Agama Islam dan telah terbentuknya pemerintahan yang tertata dengan rapih. Kemudian mendorong Tasyri’ sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
2.      Setelah pembentukan Hukum maka munculah Pembinaan Hukum Pada Masa Rasulullah terdapat 4 dasar pembentukan Hukum Islam yaitu:
a.    Berangsur-angsur dalam penetapan hukum.
 Hukum diturunkannnya dan disyariatkannya secara berangsur-angsur adalah bertujuan untuk memudahkan umat pada masa pertama yang baru memeluk agama Islam  agar tidak dibebani sesuatu yang menyusahkan, baik yang ingin dikerjakan maupun yang ingin ditinggalkan.
b.      Mengefisienkan Pembuatan Undang-Undang.
Diantara prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam syariat Islam ialah bahwa hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan. Untuk itu segala binatang dan benda atau perjanjian atau transaksi yang tidak disyariatkan hukumnya oleh dalil syara’ adalah boleh. Atas dasar inilah maka dengan mengefisienkan undang-undangpun tidak mendatangkan kesempitan. Permasalahan apapun yang tidak ada peraturan undang-undangnya, maka hukumnya boleh berdasarkan ibahah ashliyah(kebolehan menurut asal).
c.       Memberi Kemudahan dan Keringanan.
Prinsip ini paling menonjol dalam perundang-undangan hukum Islam. Dalam banyak hal, hukum-hukum itu tujuannya adalah memberi kemudahan dan keringanan bagi para mukallaf.
d.      Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Bukti adanya prinsip ini adalah bahwa syari’ (pembuat undang-undang) banyak memberikan ta’lil hukum dengan kemaslahatan manusia sebagai ‘illat hukum. Syara’ menetapkan bahwa hukum-hukum yang ada berdasarkan ‘illat akan berputar bersama ‘illatnya, yaitu adanya ‘illat menetapkan adanya hukum dan tidak ada ‘illat meniadakan hukum.
B.     Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.









DAFTAR PUSTAKA

Ali, Asghar, asal-usul dan perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan IKAPI.
Bik, Hudhari. 1980. Tarjamah Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul Ikhya.
Khallaf, Abdul Wahhab.2005.  Sejarah Hukum Islam. Bandung: Marja.
Khallaf, Wahab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani.
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sirri, Mun’in.1995. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar. Risalah Gusti
Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam dalam lintasan sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.


1 Khallaf, wahab khulasah tarikh tasyri’ islami, 4.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, (Marja Bandung: 2005) Cet-1, 11.
[3] A.sirri, Mun’in, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, 22.                                                         
[4] Asghar ali engineer, asal-usul dan perkembangan Islam, 59.
5 Khallaf, Wahhab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, 10.
6 Zuhri, Muhammad hukum Islam dalam lintasan sejarah, 13.
7 Ibid. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, 24.
8 Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (PT. Remaja Rosdakarya Bandung: 2000), cet-2, 22-23.
9 Hudhari Bik, Tarjamah Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, (Darul Ikhya Semarang:1980), 31.
10 Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, (Marja Bandung: 2005) Cet-1, 19-25.