BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dengan
berjalan waktu fenomena dan segala permasalah yang timbul semakin kompleks.
Banyak permasalahan yang terjadi pada dewasa ini belum atau bahkan tidak
terjadi sama sekali pada zaman Rasulullah SAW. dan para ulama ahli fiqh
lainnya. Sehingga sering sekali terjadi silang pendapat untuk menyelesaikannya.
Dalam
kehidupan manusia, pada usia tertentu, bagi seorang pria maupun seorang wanita
timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya. Hidup bersama
antara seorang pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan biologis, namun juga keinginan mendapat anak keturunannya, maupun
hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah
menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia. Tujuannya untuk
menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia tidak boleh berbuat
semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya. Allah telah
memberikan batas dengan peraturan-peraturannya, yaitu dengan syari’at yang
terdapat dalam kitab-Nya dan hadist rasul-Nya dengan hukum-hukum pernikahan.
Pernikahan adalah sunatullah, hukum alam di dunia dan merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita.
Namun,
dewasa ini mulai populer adanya kawin kontrak. Atau dalam istilah fiqih disebut
dengan nikah mut’ah. Bagaimanakah islam menanggapi fenomena tersebut? Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai kawin kontrak menurut sudut
pandang Islam.
B. Rumusan Masalah.
1. Apa pengertian kawin kontrak?
2. Bagaimanakah sejarah kawin kontrak pada
masa Rasulullah SAW?
3. Apa landasan hukum kawin kontrak menurut
undang-undang dan syari’at Islam?
4. Apa dampak negatif dan positif kawin
kontrak?
C. Tujuan.
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami
pengertian kawin kontrak.
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami
sejarah kawin kontrak pada masa Rasulullah SAW.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami
landasan hukum kawin kontrak menurut undang-undang dan syari’at Islam.
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami dampak
negatif dan positif adanya kawin kontrak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kawin Kontrak.
Dalam
bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin, atau
bersetubuh.[1] Sedangkan “kontrak” berarti persetujuan yang
bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak
melakukan kegiatan.[2] Kawin
kontrak dalam istilah fiqih dikenal sebagai nikah mut’ah. Dalam istilah yang lain, nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot)
atau nikah terputus (nikah munqothi’).
Menurut
Dr. H. Mahjuddin, M.Pd. I, kawin kontrak merupakan tradisi masyarakat
jahiliyah.[3]
Yang pengertiannya menurut Sayyid Syabiq, “kawin kontrak adalah adanya seorang
pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan.” Dan dinamakan
muth’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan
melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah
ditentukannya.[4]
Nikah
mut’ah adalah nikah untuk bersenang-senang dalam masa tertentu. Misalnya
dikatakan oleh walinya,” Aku nikahkan engkau dengan Fatimah untuk sebulan
saja”.[5] Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di
dunia. Perkawinan yang merupakan sunatullah pada dasarnya adalah mubah
tergantung pada tingkat maslahatnya. Di sini, perbedaan tingkat larangan sesuai
dengan kadar kemampuan merusak dan dampak negatif yang ditimbulkannya.
Secara
istilah, kawin kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan
menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu, satu
bulan, satu tahun, dan sebagainya. Apabila telah sampai pada waktu yang
ditetapkan, maka pernikahan itu putus dengan sendirinya.[6]
Nikah mut’ah cenderung bertujuan untuk hiburan, bersenang-senang, dan
melampiaskan hawa nafsu semata.
B. Sejarah kawin kontrak pada masa
Raulullah SAW.
Jika
kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak
memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika
itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui
betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya
sebagaimana mestinya.
Pada
zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh
dari istrinya untuk melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan.
Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota
Mekah pada tahun 8 H / 630 M.
Nikah
mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini
menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur
(mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2:
99). Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ
دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum
kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah
tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia
berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata,
فَأَقَمْنَا
بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ - ثَلاَثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ - فَأَذِنَ لَنَا
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ ... ثُمَّ
اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم-.
“Kami menetap selama 15
hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah dengan
wanita... Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis). Sampai
aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 1406).
Saat kekhalifahan Ali mulai terdapat perdebatan
soal kawin mut'ah antara Sunni dan Syiah. Sunni mengatakan, kawin mutah telah
dilarang oleh Nabi Muhammad saw pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah,
Nabi juga pernah memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah
menjadi kesepakatan sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah
melarangnya.
C. Landasan hukum kawin kontrak menurut
undang-undang dan syari’at Islam.
1. Menurut undang-undang perkawinan di
Indonesia.
Kawin
kontrak merupakan salah satu jenis perkawinan yang masuk ke dalam kategori
“perkawinan yang timpang” karena tidak memenuhi ketiga aspek tersebut melainkan
hanya dilakukan berdasarkan nafsu duniawi semata.
Dalam
sudut pandang hukum, kawin kontrak pada dasarnya tidak diperkenankan oleh hukum
perkawinan Indonesia yaitu yang terangkum dalam Undang-undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974. Pasal 1 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa ” Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.”[7]
Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah , apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”[8]
Ketentuan
di atas mengandung pengertian bahwa apabila sebuah perkawinan dilakukan tidak
berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak, maka secara hukum
tidak akan diakui keabsahannya. Ketentuan agama dalam hal ini tidak hanya
diberi pengertian terpenuhinya syarat-syarat konkrit seperti adanya dua calon
mempelai, persetujuan orang tua, maupun mahar, dan lain-lainnya, tetapi juga
harus terpenuhinya tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk
sebuah keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kawin
kontrak bukan merupakan perkawinan yang sah karena pada dasarnya dilakukan
bukan karena adanya tujuan yang mulia untuk mematuhi perintah Tuhan dan untuk
membentuk keluarga yang bahagia, melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan
yang didasari kepentingan yang bertentangan dengan hukum perkawinan itu
sendiri, misalnya demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Selain itu dalam hukum
perkawinan dikenal adanya asas pencatatan perkawinan yang tertuang dalam pasal
2 ayat (2 ) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa ” Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[9] Kawin
kontrak bukan hanya tidak dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku tetapi proses dari perkawinannya itu sendiri berlangsung secara
diam-diam bahkan tidak banyak orang yang mengetahuinya. Adapun pengertian “sah”
dalam pandangan para pelaku kawin kontrak hanya didasarkan pada terpenuhinya
persyaratan dua calon mempelai, persetujuan orang tua, penghulu, dan mahar,
sehingga mereka berpikir bahwa secara agama perkawinan tersebut sah meskipun
tidak dicatat.
Ini
adalah pemahaman yang keliru karena berdasarkan hukum perkawinan, perkawinan
itu akan sah apabila dicatat oleh lembaga yang berwenang melakukan pencatatan.
Mengenai asas pencatatan ini pun tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 yang merupakan pelaksanaan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian jika dilihat dari Syarat-syarat
perkawinan yaitu yang termuat dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi : ”
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.“[10]
Kenyataannya,
kawin kontrak lebih banyak terjadi bukan berasal dari persetujuan calon
mempelai tetapi terjadi karena paksaan dari orang tua (jika pihak perempuan)
yang karena faktor ekonominya kurang mampu sehingga tega menjual anak-anaknya
sendiri untuk tujuan menyambung hidup. Persetujuan yang terjadi pada umumnya
hanya terucap secara lisan saja berdasarkan paksaan, bukan karena hati nurani.
Dan ini sudah melanggar ketentuan dari tujuan perkawinan itu sendiri yang harus
didasari oleh kehendak dan tujuan yang baik untuk memenuhi perintah Tuhan.
Sedangkan dari pihak laki-laki sudah jelas tujuannya hanya sebatas pemuas nafsu
biologis semata atau juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya berorientasi pada
kepentingan sepihak. Pasal
7 ayat (1) undang-undang perkawinan menyatakan bahwa ‘Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”[11]
Dalam undang-undang Perkawinan dikenal asas bahwa para pihak harus sudah aqil
balig. “Aqil” dalam hal ini adalah ‘berakal” dan balig adalah “dewasa secara
fisik”. Banyak pihak yang mengartikan dewasa itu hanya sebagai “balig”, padahal
kedewasaan itu ditunjang oleh “aqil” sehingga seseorang tersebut mempunyai akal
untuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu itu apakah benar atau tidak,
apakah berakibat buruk atau tidak.
Demikian
pula pada masalah perkawinan, kedua calon mempelai itu dituntut tidak hanya
dewasa secara fisik tetapi juga dewasa secara pemikiran sehingga akan mampu
menjalankan bahtera perkawinannya secara sehat.Jika merujuk pada keterangan
para pelaku kawin kontrak, pada umumnya syarat aqil dan balig itu hanya
dimiliki oleh satu pihak (misalnya dari pihak laki-laki yang rata-rata sudah
berusia dewasa dan memiliki akal untuk mempertimbangkan baik dan buruknya
perkawinan kontrak namun mereka mengabaikan hal tersebut) namun di lain pihak.
Calon
mempelai perempuan berusia di bawah 16 tahun atau berusia di atas enam belas
tahun namun belum memiliki kedewasaan yang cukup untuk mempertimbangkan baik
buruknya melakukan kawin kontrak sehingga mereka menurut saja ketika orang tua
memaksanya atau keadaan ekonomi menuntutnya untuk dilakukan perkawinan
komersial tersebut. Oleh karena itu jenis perkawinan ini sangat bertentangan
dengan nilai kepatutan di masyarakat, serta bertentangan dengan agama dan hukum
negara.
Di
Indonesia perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum
islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formalnya
semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama
menetapkan tentang keabsahan perkawinan sedangkan aspek formal adalah
menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA atau catatan sipil.
Kawin
kontrak merupakan sebuah fenomena terselubung dalam masyarakat sekarang ini.
Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974, karena
dalam kawin kontrak yang ditonjolkan hanya nilai ekonomi, dan perkawinan ini
hanya bersifat sementara. Menurut UU No.1 Tahun 1974, perkawinan haruslah
bersifat kekal untuk selama-lamanya.
2. Menurut syari’at Islam.
Memang
benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian
diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh
Shahih Muslim:
وَالصَّوَاب
الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ
حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم
فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس، لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ
بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة،
وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
“Yang benar dalam
masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan
sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian
diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika
fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk
selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan
kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam
keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang
merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari
kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah)
bagi para sahabat ketika itu.
Haramnya
nikah mut’ah, menurut Bahtsul Masail DPP Ittihadul Muballighin, berlandaskan
dalil-dalil Hadits Nabi dan juga pendapat para ulama dari empat madzhab. Dalil
dari Hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim
menyatakan bahwa:
وَحَدَّثَنِى
سَلَمَةَ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ
عَنِ ابْنِ أَبِى عَبْلَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ حَدَّثَنَا
الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِىُّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَقَالَ « أَلاَ إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ
يَوْمِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ
يَأْخُذْهُ ». صحيح مسلم – (ج 4 / ص 134)
Dari Sabrah bin Ma’bad
Al-Juhani, ia berkata: Kami bersama Nabi Muhammad SAW dalam suatu perjalanan
haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu
dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia
mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita
tadi berkata: Ada selimut seperti selimut. Akhirnya aku menikahinya dan tidur
bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan
tiba-tiba aku melihat Nabi SAW sedang berpidato di antara pintu Ka’bah dan
Hijir Ismail. Beliau bersabda: Wahai sekalian manusia, Aku pernah mengizinkan
kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang mempunyai
istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu
yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah
Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim , Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam al-Nasa’i
, Imam al- Darimi, Imam Ibnu Syahin).
Dalil Hadits lainnya:
حَدَّثَنَا
مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ
الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ
وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ
خَيْبَرَ صحيح البخاري – (ج 5 / ص 1966)
Dari Ali bin Abi Tholib
r.a. ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW melarang nikah
mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari , Imam al- Tirmidzi , Imam Malik bin Anas ,
Imam Ibni Hibban, Imam al-Baihaqi, Imam al-Daruqutni dan Imam Ibnu Abi
Syaibah).
Jadi
kawin kontrak atau nikah muth’ah itu dilarang oleh Islam. Karena dapat merusak
tujuan utama dari perkawinan itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam Al-Qur’an berikut ini:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4
¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtƒ
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
D. FATWA PARA ULAMA TENTANG NIKAH MUT'AH
- Ulama Madzhab Hanafi :
a.
Imam
Al-Sarakhsi berkata : ''Nikah mut'ah ini batil menurut madzhab kami ''.
b.
Imam
Al-Kasani berkata: ''Tidak boleh nikah yang bersifat sementara yaitu nikah
mut'ah ''.
c.
Imam
Abu Ja'far Ath-Thohawi berkata; ''Sesungguhnya semua hadis yang membolehkan
nikah mut'ah telah di mansukh ( di hapus)''.Beliau juga berkata: lihatlah umar
beliau melarang nikah mut'ah di hadapan semua sahabat ,tanpa ada yang
mengingkari .ini adalah dalil bahwasanya mereka mengikuti larangan Umar, dan
kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut adalah hujjah atas di
hapusnya kebolehan mut'ah .''
- Ulama Madzhab Maliki:
a. Imam
Malik bin Anas v berkata : ''Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan di
batasi waktu maka nikahnya batil ''.
b. Imam Ibnu Rusyd v berkata ; ''Hadis
–hadis yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat yang mutawatir''.
c. Imam Ibnu Abdil Barr v ; ''Adapun semua
shahabat ,Thabi'in dan orang-orang yag setelah mereka mengharamkan nikah
mut'ah, di antara mereka adalah Imam Malik dari Madinah, Abu Hanifah dan Abu
Tsur dari Kufah, Al-Auza'I dari Syam, laits bin Sa'ad dari Mesir serta seluruh
ulama hadis.
- Ulama Madzhab Syafi'I :
a. Imam Asy-Syafi'I berkata : ''Nikah
mut'ah yang di larang itu adalah semua nikah yang di batasi dengan waktu baik
pendek maupun panjang'.
b. Imam Nawawi berkata : ''Nikah mut'ah
tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya suatu akad yang
bersifat mutlak, Maka tidak sah apabila di batasi dengan waktu.
c. Imam Al-Khothobi berkata : ''keharaman
nikah mut'ah semacam kesepakatan antara kaum muslimin, memang nikah ini di
halalkan di awal masa Islam, Akan tetapi di haramkan pada sa'at haji wada dan
demikian itu terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah n dan sekarang tidak ada
perbeda'an antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali sedikit dari
kalangan orang –orang Syiah Rafidhah.
- Ulama Madzhab Hanbali
a. Imam Ibnu Qudamah v berkata : ''Nikah
mut'ah ini batil sebagaimana di tegaskan oleh Imam Ahmad, beliau berkata :
''nikah mut'ah haram''.
b. Bahkan sebagian ulama menukil ijma
tentang keharaman nikah mut'ah seperti Imam Al-Baghowi sebagaimana di nukil
Syaikh Shidiq hasan khon, Imam Al-Qurthubi, Ibnul Al-Arobi dan Sayyid Sabiq.
Majlis ulama pusat telah memfatwakan akan keharaman nikah mut'ah
pada sk fatwa nomer: kep –B-679/MUI /XI/1997.
E. Dampak negatif dan positif adanya kawin
kontrak.
1. Dampak Positif.
Selain dampak negatif,
nikah mut’ah pun ternyata juga mempunyai dampak postif. Dampak positifnya
adalah memerlukan seseorang, karena ia khawatir terjerumus ke dalam fitnah dan
salah satu cara pemeliharaan diri dari zina dan perbuatan keji, hal ini adalah
pendapat Jumhur ulama, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-Mughni,
yaitu Muwaffiquddin Ibnu Qudamah Rahimahullah.
2. Dampak negatif.
a. Kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan
terhadap martabat kaum wanita. Jadi pihak wanita sangat dirugikan.
b. Kawin kontrak mengganggu keharmonisan
keluarga dan meresahkan masyarakat.
c. Kawin kontrak berakibat menelantarkan
generasi yang dihasilkan oleh perkawinan itu.
d. Kawin kontrak bertentangan dengan Undang
Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 1 dan 2.
e. Kawin kontrak dicurigai dapat
menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin.
f. Kawin kontrak sangat potensial untuk
merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Kawin Kontrak adalah pernikahan antara
laki-laki dan perempuan dengan menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad
nikah, misalnya satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan sebagainya.
2. Sejarah kawin kontrak: pada zaman
Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari
istrinya untuk melakukan Kawin kontrak, dari pada melakukan penyimpangan. Namun
kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada
tahun 8 H / 630 M. Kawin kontrak di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh
(dihapus). Kawin ini menjadi haram hingga hari kiamat.
3. Kawin kontrak atau nikah muth’ah haram
hukumnya. Karena sangat bertentangan dengan Al-Qur’an.
4. Kawin kontrak selain mempunyai dampak
negatif, disisi lain ada dampak positifnya. Tetapi dampak positif ini hanya
berlaku pada saat perang pada zaman Rasulullah karena untuk mmbangkitkan
semangat para sahabat yang jauh dari istrinya untuk jihad dijalan Allah SWT.
B. Saran.
Kawin
kontrak merupakan pernikahan yang dilarang dalam Islam. Jadi harus ditemukan
jalan keluar untuk mencegah maraknya kawin kontrak. Solusinya adalah dengan
mengadakan seminar dan penyuluhan tentang hukum kawin kontak serta menjelaskan
sebab akibat dari kawin kontak. Dengan tujuan masyarakat sadar bahwa sebuah
perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral.
DAFTAR
PUSTAKA
Kementrian
Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011
Kementrian Agama. Kompilasi
Hikum Islam. Bandung: Humaniora Utama Press, 1992
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah.
Jakarta: Kalam Mulia, 2003
Muliono,
Anton.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai
Pustaka,1994
Sabiq,
sayyid. Fikih Sunnah 6. Bandung: PT. Alma’arif, 1980
Soemiyati.
Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta:
Liberty, 2007
Team Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. Al Hikmah Fiqih. Sragen: Akik Pusaka,
2008
Tihami,
M. A. dan Sohari Sahrani. Fikih
Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Sumber
lain:
nice info gan, keren artikelnya,
BalasHapusSouvenir Murah Kediri