Pengikut

Kamis, 23 Mei 2013

PENDIDIKAN ISLAM Sebuah dilema dan Prospek



PENDIDIKAN ISLAM
Sebuah dilema dan Prospek

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Etika dan Politik Pendidikan

 



Kelompok : 6





Dosen Pembimbing:
Drs. Yahya Aziz, M.Pd.I

Di susun Oleh :
Ani Masruroh                    :
Dwi Nurul Hidayah           : D31210076
Ahmad Roziqin                 :
Agus G A                          :


FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Memasuki abad XXI atau milenium ketiga ini dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai masalah pelik yang apabila tidak segera diatasi secara tepat, secara mustahil dunia pendiidkan akan ditinggal oleh zaman. Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. Hal yang demikian dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan uamt mausia, adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa.[1]
Kenyataan dewasa ini, umat Islam di mana-mana dalam keadaan lemah. Lemah dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ilmu, teknologi, dan juga dalam bidang pendidikan. Tanpa mengabaikan segi-segi lainnya, bidang pendidikan sesungguhnya mempunyai dampak berantai terhadap kelemahan tersebut secara keseluruhan. Artinya, kelemahan umat Islam dalam bidang pendidikan, jika dibiarkan terus-menerus, niscaya akan melestarikan kelemahan dalam segi-segi kehidupan yang lainnya.[2]
Dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan mengenai prospek dan masalah-masalah yang tengah dihadapi oleh pendidikan Islam di Indonesia, yang mana sampai saat ini pendidikan Islam masih mengalami dilema.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pendidikan Islam itu?
2.      Apa sajakah karakteristik dari pendidikan Islam ?
3.      Apa sajakah dilema atau masalah-masalah yang tengah dihadapi pendidikan Islam saat ini ?
4.      Bagaimanakah prospek pendidikan Islam di masa kini dan mendatang?
























BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pendidikan Islam
1.    Definisi Pendidikan Islam
Kata “pendidikan” yang dilekatkan dengan kata “islam” telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang-orang sesuai dengan pendapat yang mereka pahami masing-masing, akan tetapi secara umum pendidikan adalah “suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan secara efektif dan efisien”[3]. Sedangkan Jhon Dewey tokoh pendidikan menyatakan, bahwa pendidikan adalah “proses pembentukan kecakapan fundamental, secara intelektual dan emosional, kearah alam sesama manusia”.berbeda halnya dengan Ki Hajar Dewantara beliau menyatakan bahwa “pendidikan berarti upaya untuk memajukan budi pekerti (batin), pikiran dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya”[4]. Secara umum, Pada dasarnya pendidikan lebih dari sekedar pengajaran, karena dalam kenyataanyapendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau Negara membina dan mengembangkan kesadaran diri antar individu. Oleh karena itu, pendidikan benar-benar merupakan latihan fisik, mental dan moral bagai individu-individu supaya mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia dan menjadi warga Negara yang berguna/ manfaat bagi suatu Negara.
Setelah menguraikan pendidikan secara umum, selanjutnya masuk pada definisi pendidikan islam, adanya kata “islam” yang dihubungkan dengan kata “pendidikan” tentu menimbulkan pengertian-pengetian baru dalam dunia pendidikan. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi beliau memberi pengertian “pendidikan islam sebagai: “pendidikan islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilanya, karena pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalm perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatanya, manis dan pahitnya”. Senada dengan definisi dari Dr. Yusuf Qardhawi, Pendidikan Islam dirumuskan Dr. Hasan Langgulung sebagai “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal didunia dan memetik hasilnya diakhirat”[5].
Oleh sebab itu pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, melalui proses pendidikan seperti individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi supaya ia mampu menunaikan fungsingnya sebagi khalifah dibumi, dan berhasil mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Secara agak tekhnis Endang Syaifuddin Anshori mendefinisikan Pendidikan Islam adalah: “proses bimbingan (pimpinan, tumtunan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dll) dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang kearah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran islam”[6].
Dari beberapa uraian diatas dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan pada umumnya dengan pendidikan islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah, bahwa pendidikan islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat, lebih dari itu, pendidikan islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran islam, sehingga pribadi-pribadi yang terbentuk itu tidak terlepas dari nilai agama, seperti yang dikatakan Ahmad D. Marimba, “pendidikan islam adalah bimbingan jasmani rohani, berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam”[7].
Meskipun demikian, tujuan akhir dari pada pendidikan islam tidak lepas dari tujuan hidup seorang muslim, pada hakikatnya pendidikan islam itu sendiri hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan hidup muslim, tujuan hidup muslim sebagaimana difirmankan Allah SWT:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Qs al-Dzariyat: 56)
Tujuan hidup Muslim sebagaimana dijelaskan pada ayat diatas, merupakan tujuan akhir pendidikan islam yakni untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba tuhan yang selalu brtakwa dan mengabdi kepada-Nya. Sebagai hamba allah yang bertakwa, maka segala sesuatu yang diperoleh dalam proses pendidikan islam itu tidak lain termasuk dalam bagian perwujudan pengabdian kepada Allah Swt.
     2. Karakteristik Pendidikan Islam
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan umum, meskipun boleh jadi terdapat bebrapa persamaan, perbedaan itu tidak menjadikan pendidikan islam rendah bila dibandingkan denngan pendidikan umum, tetapi justru perbedaan-perbedaan itu membentuk karakteristik yang kemudian menjadi identitas dirinya. Secara singkat karakteristik Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:[8]
Karakteristik Pertama, penguasaan Ilmu Pengetahuan. Ajaran dasar Islam mewajibkan mencari ilmu pengetahuan bagi setiap muslim dan muslimat, setiap rasul yang diutus Alllah lebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan, dan mereka diperintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu.
Karakteristik Kedua, pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan pada orang lain.
Karakteristik Ketiga, penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat dari pendidikan islam terikat oleh nilai-nilai akhlak.
Karakteristik Keempat, bahwa penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum.
Karakteristik Kelima, penyesuaian kepada perkembangan anak. Sejak awal perkembangan islam, pendidikan islam diberikan pada anak sesuai dengan umur, kemampuan, perkembangan jiwa dan bakat anak. Setiap usaha dan proses pendidikan haruslah memperhatikan faktor pertumbuhan anak.
Karakteristik keenam, adalah, pengembanagan kepribadian. Bakat alami dan kemampuan pribadi tiap anak didik diberikan kesempatan berkembang sehingga bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Setiap murid dipandang sebagai amanah tuhan, dan seluruh kemampuam fisik mental adalah anugerah dari tuhan.
Karakteristik ketujuh, adalah penekanan pada amal soleh dan tanggung jawab. Setiap anak didik diberi semangat dan didorong untuk mengamalkan ilmu pengetahuan sehingga bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat islam secara keseluruhan. Amal salaeh dan tanggung jawab itulah yang menghantarkanya kelak kepada kebahagiaan di kemudian hari.
Karakteristik- Karakteristik pendidikan islam diatas seperti bisa dilihat, membedakanya dengan pendiikan lainya. Dengan karakteristik itu eksistensi pendidikan islam ditengah pendidikan lain dapat dilihat dan dibedakan dengan jelas, karena pendidikan mempunyai ikatang langsung dengan nilai-nilai ajaran islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

B.  Pedidikan Islam (Sebuah Dilema dan Prospek)
1.    Problematika Dasar Pendidikan Islam
           Ketertinggalan pendidikan Islam telah sedemikian parahnya. Hal ini mengundang keprihatinan yang mendalam dan menyisahkan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang melatar belakangi keadaan tersebut.
Pada masa lampau   pendidikan Islam pernah menjadi tumpuan utama bagi masyarakatnya dan perkembangannya senantiasa seirama dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada masanya. Dalam catatan sejarah, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam bermula dari pengajian-pengajian di rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh para penyebar islam yang kemudian berkembang menjadi pengajian di langgar-langgar, masjid dan pondok pesantren. Pendidikan Islam memang dapat diterima seiring dengan jalannya pertumbuhan Islam pada waktu itu.
            Demikian pula pada masa kolonial Belanda dan Jepang, sistim pendidikan Islam tetap bertahan dan dapat menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan. Namun, pasca era kemerdekaan sampai sekarang dinamika pertumbuhan sistim pendidikan Islam cenderung menurun dan kurang dapat mengimbangi kebutuhan obyektif masyarakat, sebagaimana yang dikatakan AM Saefuddin sebagai berikut: “Pada masa selanjutnya muncullah bentuk madrasah dan upaya untuk memasukkan materi pendidikan agama ke dalam kurikulum pendidikan umum yang didirikan oleh kolonial Belanda. Pada masa selanjutnya, yakni ketika bangsa Indonesia memasuki alam kemerdekaan, maka bentuk-bentuk sistim pendidikan Islam baik pesantren, madrasah maupun disekolah-sekolah umum terus berlanjut, tetapi dengan perkembangan yang tampaknya menunjukkan ketertinggalan dari perkembangan masyarakatnya sendiri.[9]
               Namun apapun yang terjadi, cara pandang yang terlalu merendahkan martabat pendidikan Islam jelas kontra produktif, apalagi hal yang menjadi tolak ukur adalah kemajuan di Barat. Ketertinggalan dalam pendidikan Islam haruslah dilihat sebagai tantangan. Orientasi ini menjadi demikian penting agar terhindar dari munculnya problem baru yang lebih serius. Artinya, apabila melihat ketertinggalan pendidikan Islam ini dengan rasa rendah diri, maka dengan sendirinya telah mengawali problem baru.

2.    Identifikasi Problem Utama
           Pendidikan Islam dipengaruhi oleh multifaktor, kondisi, dan problem yang kompleks. Maju mundurnya teori dan praktek pendidikan Islam diakibatkan oleh kompleksitas problem tersebut. Problem yang dimaksud berupa segala persoalan yang inhern dalam pendidikan, yakni problem internal, maupun yang berada di luar jangkauan bidang pendidikan, yakni problem eksternal yang secara tidak langsung berpengaruh, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, etos kerja, stabilitas politik, lemahnya penekanan hukum, dan lain-lain yang terkait dengan bidang hukum, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. 
Problem internal yang dihadapi oleh pendidikan Islam meliputi melemahnya visi atau tidak jelasnya arah pendidikan yang dilaksanakan, penekanan yang tidak seimbang antara pembentukan kepribadian yang utama dalam diri seorang muslim dengan peranan sosialnya di tengah umat, di mana hal ini menyebabkan timbulnya kesalehan dan ketaqwaan. Selain itu, problem epistimologi pendidikan yang dikotomik antara ilmu-ilmu agama dengan umum, dan problem paradigma berpikir normatif-deduktif masih lazim dijumpai dalam pendidikan Islam secara umum, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Islam lainnya.[10]

     3. Problematika Institusional Kekinian
                   Perubahan sosial yang terjadi secara simultan dalam masyarakat, pada gilirannya akan merangsang munculnya berbagai permasalahan dalam lembaga pendidikan Islam, diantaranya adalah problem lulusan LPI dengan tuntutan dunia industri, kualitas SDM dan lingkup LPI, masalah keilmuan Islam yang dilematis dan ambivalensi penyelenggaraan pendidikan Islam.
                   Semua hal tersebut merupakan permasalahan-permasalahan yang sangat penting untuk segera dicarikan solusinya. Namun, problem yang lebih mendasar untuk dipecahkan adalah dua persoalan terakhir, karena kedua persoalan itu dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam pada masa kini maupun masa datang. Apabila kedua problem tersebut kurang mendapat tanggapan dimungkinkan masa depan pendidikan Islam hanya tinggal nama, karena telah ditinggalkan oleh masyarakat yang aktif mengikuti perubahan.
          a.   Keilmuan Islam yang Dilematis
                   Masalah keilmuan Islam secara historis prespective dipengaruhi oleh dua arus besar yang menjadi tabir bagi upaya rekontruksi pemikiran Islam secara umum dan pemikiran Islam secara khusus. Arus besar itu adalah warisan ortodoksi pemikiran Islam dan masuknya positivisme kedalam metodologi keilmuan Islam. Dampak dari warisan ortodoksi pemikiran Islam tersebut tidak sekedar mewarnai bingkai-bingkai fiqh, tetapi juga memberikan akses negatif terhadap epistemologi keilmuan dalam Islam, pintu ijtihad pun tertutup. dampak dari stagnasi pemikiran tersebut membawa dunia Islam dalam rentang waktu yang cukup lama hanya menghasilkan ilmu-ilmu yang isinya sebagian besar berbentuk elaborasi (syarah, hasyiyah), termasuk dalam bidang penafsiran maupun dalam bidang muamalat.
                   Dalam bidang penafsiran Islam memang dapat memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metodenya. Namun, sayang sebagian besar berisi pengulangan yang ada. Sebagaimana juga dijelaskan Nasr hamid Abu Zaid tentang keadaan tersebut sebagai berikut: “pada saat ini sikap dan wacana keagamaan kontemporer terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an dan demikian pula ilmu-ilmu hadis adalah sikap pengulangan. Hal ini terjadi karena diantara ulama ada yang mempunyai asumsi bahwa dua tipe ilmu tersebut masuk dalam ilmu yang sudah  matang dan sudah selesai, sehingga generasi kemudian tidak lagi memiliki apapun seperti yang dimiliki oleh generasi tua”.[11]
                   Nasr hamid Abu Zaid menambahkan bahwa stagnasi pemikiran di dunia Islam ini dipengaruhi oleh apa yang disebutnya sebagai peradaban teks (Hadharah al-Nash).[12] Peradaban teks menurutnya merupakan sebuah peradaban dimana teks menjadi semacam poros penggerak serta sekaligus sebagai pembentuk pengetahuan. Dalam peradaban demikian, tafsir teks  menjadi semacam kebutuhan utama dari waktu ke waktu senantiasa mewarnai tiap jengkal deretan sejarah Islam. Oleh karena itu, Islam dapat memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metode, mulai dari tahlili sampai maudhu’i.
                   Peradaban demikian akhirnya membawa implikasi luas serta memungkinkan terciptanya kultur yang serba berdimensi teks, termasuk dalam memandang kebenaran. Kebenaran selalu diukur dengan letterleks teks, tidak ada kebenaran di luar itu. Sekalipun manusia memungkinkan dapat memperoleh kebenaran sendiri melalui pencarian dengan daya nalarnya, ia tetap harus selalu mendapat rujukan dari teks. Kalau ia gagal dalam merujuk, maka apa yang dikatakan nalar sebagai kebenaran gagal pula. Sedangkan dampak kedua arus tersebut dalam dunia pendidikan Islam adalah terjadinya transformasi pada paradigma ilmu pendidikan Islam beserta epistemologinya dari Islamic education of islamic menjadi Islamic education for Moslem.


     b.   Ambivalensi (dikotomi) Penyelenggaraan Pendidikan Islam
                   Sistim pendidikan Islam sampai saat ini dirasa masih bersifat ambivalensi. Sifat ambivalensi yang dimaksud adalah model penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia mengalami ketimpangan, dimana di satu pihak pendidikan agama yang diterapkan disekolah-sekolah umum hanya sekedar pelengkap, sedangkan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan pada sistim pendidika Islam (pesantren) kurang mengembangkan penguasaan disiplin ilmu  (sains dan teknologi) dan keterampilan. Ada anggapan yang berkembang selama ini bahwa penguasaan disiplin ilmu dan keterampilan hanya garapan sistim pendidikan umum.
                   A. M Saefuddin menjelaskan bahwa sistim madrasah dan apalagi sekolah dari PT Islam yang membagi porsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan umum dalam prosentase tertentu telah terbukti mengakibatkan bukan saja pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya kepada tujuan Islam yang membentuk manusia takwa, tapi juga tidak mencapai tujuan pendidikan Barat yang bersifat sekuler. Sementara itu keadaan pendidikan Islam di sekolah PT umum, lebih jelas diketahui sebagai lebih banyak hanya berfungsi sebagai pelengkap yang  menempel bagi orientasi pendidikan sekuler.
                   Keadaan itu timbul akibat adanya pandangan dikotomi yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang mengajarkan kesatuan dunia-akhirat, dimana ilmu-ilmu dunia adalah bagian dari ilmu-ilmu agama yang tidak boleh dipisahkan dengan pandangan dikotomis serta orientasi yang ambivalen. Apabila keadaan ini tetap dibiarkan, maka dapat dipastikan sistim pendidikan Islam hanya akan menghasilkan lulusan-lulusan yang makin jauh dari cita-cita pendidikan Islam sendiri.
                   Perbedaan itu terjadi karena, selain sumber dan medan garapan berbeda, juga adalah perbedaan titik tolak. Jika ilmu agama berangkat dari sebuah kepercayaan, ilmu umum berangkat dari keraguan. Sekalipun anggapan ini sesungguhnya tidak seluruhnya benar, karena masing-masing menyisakan pelbagai persoalan metodologis di dalam menemukan kebenaran sejati.
                   Mengembalikan pemahaman parsial adanya dualitas keilmuan ini ke arah integrasi kiranya membutuhkan keberanian serius dari pelbagai kalangan, pembacaan ulang visi, misi dan orientasi sistim pendidikan adalah suatu yang urgen bila tidak ingin terjebak pada pengulangan tradisi  yang tak memiliki kemampuan menjawab persoalan-persoalan kekinian dan masa depan. Sekalipun persoalan yang mendasar bukanlah terletak pada dikotomi dan integrasi, melainkan pada bagaimana menanamkan pemahaman holistik (kaffah) terhadap ajaran agama yang universal dan kosmopolit. Karena didalam ilmu sebenarnya tidak mengenal dikotomi dan disentegrasi, melainkan spesialisasi-spesialisasi yang berkembang semakin cepat, kompetitif dan berkualitas.
                   Al-Qur’an sebagai kitab rujukan umat Islam sesungguhnya tidak mengenal dikotomi. Al-Qur’an justru menginstruksikan kaum beriman untuk senantiasa ber-tafakkur (QS. Ali-Imran (3): 189-190) dan ber-tasyakkur (QS. An-Nahl (16): 114. Perintah memikirkan segala ciptaan Tuhan di langit dan di bumi melalui hukum-hukum-Nya di dalam al-Qur’an mengandung pengertian bahwa sains merupakan jalan untuk mendekati kebenaran Tuhan. 
                   Jadi, orientasi sains dan teknologi sesungguhnya merupakan instruksi utama al-Qur’an bagi terbentuknya ulul al-bab, yaitu seseorang yang dengan fikir dan zikirnya mampu melahirkan gagasan-gagasan imajinatif bagi peradaban manusia dan lingkungannya, disamping memberikan penekanan pada nilai dan moral. Dengan demikian, tetaplah harus ditegaskan bahwa tanpa landasan nilai-nilai agama, maka ilmu pengetahuan dan teknologi justru akan menjadi bumerang bagi manusia sendiri, karena itu persoalan kini adalah bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dapat menjadi milik yang dapat dikembangkan tanpa merasa khawatir akan efek bumerang dan terpecahnya kepribadian manusia oleh pandangan-pandangan dikotomis.
                   Jalan yang kini terlihat menjadi titik terang adalah dengan melakukan proses Islamisasi sains dan teknologi. Kondisi semacam ini tentu saja harus dibaca sebagai tantangan yang harus segera diantisipasi secara lebih matang dan terencana serta dituntut untuk memunculkan inovasi-inovasi baru dan mendalam dari masyarakat akademik maupun yang lainnya, agar pendidikan Islam tetap bisa diterima oleh masyarakat yang juga terus menerus berubah.
                   Sejalan formulasi dan pemikiran kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari ikatan-ikatan konteks lingkungan, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama, disamping unsur internal seperti bakat dan potensi yang merupakan unsur ketergantungan eksistensi pendidikan Islam. Imam Tholkhan berpendapat bahwa problmatika pendidikan Islam kini dan masa datang, antara lain: Pertama, kurangnya kemampuan para lulusan (out puts) dari lembaga- lembaga pendidikan Islam, madrasah, pesantren serta perguruan tinggi  Islam di dalam menelaah teks-teks klasik secara utuh yang sebenarnya  merupakan bagian integral dari kajian pokok yang harus dipelajari. Para lulusan madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam tidak jarang tercerabut dari akar-akar tradisi, nilai dan kepercayaan yang dianutnya. Kedua, tidak semua lulusan lembaga pendidikan Islam mampu melaksanakan fungsi-fungsi layanan terhadap umat Islam, tak terkecuali hal yang paling mendasar dan memasyarakat seperti memimpin berbagai ritual keagamaan. Ketiga, adanya kecenderungan lulusan lembaga pendidikan Islam hanya berpikir normatif atau cenderung berpikir melalui kaedah keagamaan (deduktif) dan kurangnya mereka memahami kontek dan substansi empiris dari persoalan-persoalan keagamaan dan sosial yang dhadapi (induktif). Keempat, sistim pendidikan Islam yang ada sampai dewasa ini masih dinilai belum bisa menghasilkan manusia-manusia kompetitif di era global yang didominasi oleh ilmu pengetahua dan teknologi. Kelima, posisi pendidikan Islam selalu diletakkan pada posisi marginal atau under class. Keenam, para lulusan lembaga pendidikan Islam belum terlatih untuk mengembangkan ilmu-ilmu  keislaman yang baru, baik dalam konteks kultur nasional maupun antar kultur, sebaliknya mereka hanya terlatih untuk menghafal dan mengulangi kembali pengetahuan yang baku dan kaku yang keberadaannya kurang relevan dengan perkembangan situasi dan kondisi. Ketujuh, para lulusan lembaga pendidikan Islam cenderung bersifat eksklusif dan belum mampu bekerja secara profesional. Kedelapan, adanya stigma bahwa lembaga pendidikan Islam itu sektarianisme yang dibungkus dengan kerangka ideologis, paham, dan kepercayaan serta kepentingan-kepentingan  kelompok tertentu. Kesembilan, sistim pendidikan Islam cenderung milik  perseorangan atau kelompok tertentu dari pada milik bersama atau masyarakat.
                   Malik Fajar berpendapat bahwa untuk memecahkan problematika dunia pendidikan Islam sebagaimana digambarkan tersebut, maka perlu mengadakan konsep pendekatan, sebagai berikut:
1.  Macrocosmis (tinjauan makro), yakni pendidikan Islam dianalisi dalam hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih luas.
2.  Microcosmis (tinjauan mikro), yakni pendidikan Islam dianalisis sebagai satu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi di dalam diri sendiri.[13] Hal ini berdasarkan surat Keputusan Bersama Tiga Menteri.
          Dan beliau menambahkan bahwa untuk menatap masa depan  pendidikan Islam di Indonesia yang mampu memainkan peran strategisnya bagi kemajuan umat dan bangsa, perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara   mendasar serta menyeluruh. Hal yang mendasar tersebut, antara lain: (a) kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah operasionalnya (b) penguatan dibidang sistim kelembagaannya (c) perbaikan/pembaruan   dalam sistim pengelolaan atau manajemennya. Kalau ketiga hal ini bisa dibenahi, maka dunia pendidikan Islam akan terhindar dari kesibukan   “semu” dan setahap demi setahap akan bisa memenuhi pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a “Didiklah anak-anak kalian dengan hal-hal yang  tidak seperti yang kalian pelajari diajarkan. Sesungguhnya mereka itu diciptakan dalam zaman yang berlainan dengan zaman kalian. Artinya, suatu lembaga pendidikan harus membentuk wadah akomodatif terhadap  aspirasi masyarakat pendidikan yang berorientasi ke masa depan.

C. Prospek Pendidikan Islam Masa Kini dan Masa Datang
             Meyakini pendidikan sebagai upaya yang paling mendasar dan strategis sebagai wahana penyiapan sumberdaya manusia dalam pembangunan (dalam arti luas) tentunya umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia terutama kaum cendikiawan harus terpanggil untuk menjadi pelopor. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi dasar pembenaran, yaitu:
     1.  Dari segi ajaran agama, Islam telah menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk meraih keunggulan hidup. Pandangan semacam ini amat ditaati oleh manusia modern dewasa ini, terutama mereka yang bukan Islam. Yaitu untuk meraih keunggulan kehidupan duniawi. Sedangkan Islam lebih dari    itu, yaitu bahwa penguasaan ilmu pengetahuan itu sebagai mediator untuk menuju keunggulan dua kehidupan sekaligus, yaitu kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi. Deskripsi ini amat jelas kalau merujuk kepada sabda Rasulullah SAW: Barang siapa yang ingin unggul di dunia, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul di akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu (HR. Ahmad)
     2.  Dalam perkembangan sejarahnya, Islam telah cukup memberikan acuan dan dorongan bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan, adanya mata rantai yang erat antara kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai oleh dunia Barat dewasa ini dengan kemajuan di bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sebelumnya pernah dicapai oleh dunia Islam. Karena memang diyakini oleh dunia bahwa Islamlah yang mula-mula menyebarkan pemikiran Yunani klasik yang menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat dewasa ini. Adapun faktor penyebab adopsi sains dunia Islam oleh dunia Barat adalah karena mereka melakukan gerakan penerjemahan para sarjana Islam terhadap karya Yunani klasik. Dan yang kalah pentingnya, yaitu terjadinya pemurtadan terhadap filosof  Islam lantaran menggandrungi pemikiran Yunani klasik tersebut.
     3.  Umat Islam Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya. Lembaga yang dimiliki ini adalah termasuk “Bank” sumber daya manusia yang tak ternilai harganya. Memang masalahnya kepada umat Islam itu sendiri, yaitu seberapa jauh mereka mampu mengangkat ajaran Islam dan sekaligus menjadikan   lembaga-lembaga pendidikannya sebagai wahana penyiapan sumber daya pembangunan. Untuk itu, kiranya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus semakin menyadari akan posisinya dalam upaya membuat satu komitmen strategi, yaitu menjadikan dirinya sebagai “Bank” sumber daya manusia itu.
                   Disamping itu dalam era globalisasi ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih terbuka dan saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan globalisasi itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam aspek kehidupan manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
           Adapun peluang sistim pendidikan Islam di Indonesia, antara lain:
     a.  Sistim pendidikan Islam Indonesia tidak mendominasi sistim pendidikan Nasional, karena ajaran Islam secara filosofis tidak bertentang dengan filosofis hidup bangsa Indonesia. Dalam konsep penyusunan sistim pendidikan Nasional   No. 20 tahun 2003 dan peraturan pemerintah yang menggiringnya terbuka kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri.
     b.  Pancasila sebagai asas bernegara secara filosofis menjadi landasan filsafat pendidikan.
     c.  Semakin berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia, maka lahirlah ICMI secara politis dijadikan sarana baru untuk memperkokoh wacana tersebut.[14]                                                                                    
              Dengan demikian dilihat dari segi ajaran maupun sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia menjadi sub sistim pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara politik    pendidikan Indonesia menempati posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar tetap superior sebagaimana yang telah dicapai pada zaman klasik.
              Perlu disadari bahwa pendidikan tidak berdirisendiri, tanpa upaya bidang-bidang lain yang secara sistemik harus bergerak secara secara harmonis menuju tujuan yang sama, yakni cita-cita nasional. Maka, kearifan dan keahlian dalam bekerja sama dengan pelbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu dan aliran sangat diperlukan. Adapun suatu kenyataan pula bahwa banyak kaum “non-muslim” yang mampu menapak kehidupannya sesuai dengan ajaran Islam. demikian pula sebaliknya. Banya perilaku kalangan “mualim” yang justru tidak Islami. Yang diperlukan kaum Muslim saat ini adalah jiwa besar, pandangan luas, dan sikap rasional serta terbuka untuk menerima kritik demi kemajuan.[15]








DAFTAR PUSTAKA

Nata  Abuddin, Manajemen Pendidikan, Jakarta : Kencana, 2007.
Bawani Imam, Segi-segi Pendidikan Islam, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987.
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam. PT Logos Wacana Ilmu,1999.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma`arif, Bandung, 1980.
Anshori, Endang Syaifuddin, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta: Usaha Interprises, 1976.
Dewantara KiHajar, Masalah Kebudayaan :Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, Yogyakarta, 1967.
Langgulung Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Penddikan Islam, Bandung; al-Ma`arif, 1980.
Sahrodi Jamali, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005.
Assegaf Abd Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta :  PT. Raja Grafindo Persada, 20011.
Abu Zaid Nasr hamid, Tekstualitas Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LKIS., 2001.
Fajar Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta : LP3NI, 1998.
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta : Bumi Aksara, 2000.
Mastuhu. Memberdayakan sstem Pendidikan Islam. Jakarta : PT. LOGOS Wacana Ilmu, 1999.



[1] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2007), hal. 159-160.
[2] Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, ( Surabaya : Al-Ikhlas, 1987), hal 47.
[3] Azyumardi Azra. Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam. PT Logos Wacana Ilmu,1999. hal,3
[4] KiHajar Dewantara. Masalah Kebudayaan :Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967), hal.42
[5] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Penddikan Islam, (Bandung; al-Ma`arif, 1980), hal.94
[6] Endang Syaifuddin Anshori, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, (Jakarta: Usaha Interprises, 1976), hal.85
[7] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma`arif, 1980), hal.23
[8] Azyumardi Azra. Op. Cit. hal. 12
[9] Jamali Sahrodi, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta, Desember, 2005), hal. 136
[10] Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam. ( Jakarta :  PT. Raja Grafindo Persada, 20011 ) hal. 19-24.
[11] Nasr hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Penerbit: LKIS. Yogyakarta, 2001), hal. 4

[12] Ibid, hal 1.
[13] Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: LP3NI, Jakarta, Oktober, 1998), hal. 3

[14] Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Cet. IV, (Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta, 2000), hal. 107
[15] Mastuhu. Memberdayakan sstem Pendidikan Islam. (Jakarta : PT. LOGOS Wacana Ilmu, 1999) hal. 41-42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar