BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tasyri’ secara istilah adalah pembentukan
undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa dan
ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.[1] Melihat
dari makna tasyri’ tersebut maka mucul sebuah persmasaalahan yang perlu
diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada dalam
lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang hidup
penuh dengan kemaksiatan serta belum memiliki sebuah aturan baku untuk dijalani
oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah tasyri’.
Melihat kondisi tersebut, maka Allah mengutus
Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk menegakkan syariat Islam yang benar.
Penegakan syariat Islam (tasyri’) ini tidak berhenti setelah Rasulullah wafat,
akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari periode
Rasulullah, khulafaurrasyidin, tabiin dan sterusnya. Akan tetapi dalam makalah
ini penulis hanya memaparkan tentang penegakan syariat Islam(tasyri’) pada
periode Rasulullah saja.
Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua
fase, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah.
Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan tasyri’ yang dibawa
oleh Rasulullah ini. Karena corak kehidupan Mekkah dan Madinah sangatlah jauh
berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang dari
aturan atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit untuk menerima
hal-hal yang baru dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama kali ditanamkan
dalam hati mereka adalah hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan keadaan masyarakat Madinah
yang sangat mudah menerima Islam, bahkan mereka menerima kedatangan Rasulullah
dengan senang hati. Sehingga pembentukan tasyri’ pada masa ini dirasa jauh
lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah, dan pada masa inilah hal-hal yang
berkaitan dengan Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi tasyri’.
Al-quran dan hadist pada periode ini menjadi
sebagai sumber penetapan tasyri’, kemudian permasaalahan yang muncul adalah
keterkaitan dengan ijtihad pada masa ini, apakah ijtihad juga menjadi sumber
tasyri’ saat itu.
Dalam bidang hukum, bangsa Arab pra-Islam
menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya, seperti dalam
perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan yaitu: istibdla,
poliandri, maqthu’, badal, dan shigar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Arab pra-Islam cenderung merendahkan martabat perempuan, oleh sebab
itu maka ditetapkanlah hukum Islam pertama kali oleh Rasulullah untuk menjadi
solusi bagi umat Islam dalam menentukan suatu hukum yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits sehingga membawa dampak positif bagi umat Islam di
dunia khususnya di Arab itu sendiri.
Melihat berbagai latar belakang diatas, maka penulis dapat merangkaikan
rumusan masalah sebagai berikut:
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana tasyri’ pada periode Rasulullah ?
2. Apa saja sumber tasyri’ pada periode Rasulullah?
- Bagaimana cara pembinaan hukum Islam pada masa Rasulullah?
C. Tujuan
1. Mengetahui tasyri’ pada periode Rasulullah
2. Mengetahui sumber tasyri’ periode Rasulullah
3. Mengetahui bagaimana cara pembinaan hukum Islam pada
masa Rasulullah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tasyri’ Pada Periode Rasulullah
Periode Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih
dari 22 tahun beberapa bulan. Akan tetapi hal itu membawa pengaruh besar dan
hasil yang gemilang, karena telah meninggalkan nash-nash hukum di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Periode ini meninggalkan sejumlah dasar tasyri’ yang
menyeluruh, yaitu sejumlah sumber hukum dan dalil untuk mengetahui sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya.[2]
Dalam periode Rasulullah terdiri atas dua fase yang berlainan, yaitu:
- Fase Rasul berada di Mekkah.
Selama 13 tahun masa kenabian
Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih
terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada
Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti
keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti
zina, pembunuhan dan penipuan.[3]
Pada awalnya Islam
berorientasi memperbaiki akidah. Sehingga bila telah selesai tujuan yang
pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan
(tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang turun di Mekkah,
maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju
tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para
Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat
terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan
memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya
seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu
meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka
dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat
petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka
agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti
apa yang ditimpakan pada umat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul
mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
Pada masa ini al-quran
hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah Ibadah
belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum
hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai,
darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode
Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan
masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi
yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan moral pada
seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Namun ada beberapa hal
yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat
Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
a.
Ajaran tauhid menyalahkan
kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan
maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka
(produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat
Mekkah.
b.
Ajaran Islam mengecam perilaku
ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan
mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang
penting.[4] Mekkah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia
selatan sampai utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah
dan afrika. Dan Mekkah adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka
faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.
Karena adanya tekanan dari
masyarakat yang benci terhadap Islam begitu kuat, akhirnya Rasulullah beserta
pengikutnya memutuskan hijrah ke Madinah. Setelah hijrah, barulah fase Madinah dalam tasyri’ dimulai.
2. Fase Madinah.
Yakni selama kira-kira 10 tahun berjalan dari waktu hijrah beliau sampai
wafatnya. Pada fase ini Islam terbina menjadi umat, membentuk pemerintahan, dan
media-media dakwah telah berjalan lancar. Pada fase atau periode ini
Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah
betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang
gemilang.[5] Keadaan
inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang
untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa
lainnya, dan untuk mengatur pula hubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam
baik di waktu damai maupun perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan
periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan.[6] Oleh
karena itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk
keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) turun, baik yang berbicara tentang ritual
maupun sosial. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan
legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada sejak periode
Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam
periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat
legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah
berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum
yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala
aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam
Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah,
peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian
tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari
sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa
akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan
bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu
masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada
Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan
satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang
dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan
pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW
menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses
perkembangan syariat pada periode ini.[7] Pertama adalah : metode Nabi
dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam turun secara global
Nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah,
bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Seperti ketika Nabi salat,
para sahabat melihat salat nabi dan mereka mengikutinya tanpa menanyakan syarat
dan rukunnya.
Kedua adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk
suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri
ketika mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula
yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada
kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah
masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap
(periodik). Maksudnya pembentukan kondisi masyarakat yang layak dan siap dan
menerima Islam harus menjadi prioritas yang diutamakan.
Dengan keadaan masyarakat yang demikian, yang
disyariatkan pada fase Madinah adalah hukum kemasyarakatan yang mencakup:
muamalat, perkawinan, utang-piutang, perjanjian, jihad, jinayat, mawarits,
wasiat, talak, sumpah, dan peradilan.
Sebagaimana terdapat pada surat-surat madaniyah dalam Al-Qur’an, seperti:
al-Baqarah, al-Imran, al-Nisa, al-Maidah, al-Anfal, dan al-Ahzab.[8]
B. Pengendali Kekuasaan Tasyri’ pada Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah, pengendali kekuasaan tasyri’ adalah Rasulullah
sendiri. Tidak seorangpun umat Islam selain Rasulullah sendiri yang
mentasyri’kan hukum pada suatu kejadian, baik untuk dirinnya maupun untuk orang
lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam langsung ditanyakan dan
diberi kata putus oleh Rasulullah, dan tidak ada masyarakat yang berani
melakukan ijtihad sendiri. Rasulullah memberi fatwa, menyelesaikan
persengketaan, menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan beberapa ayat
Al-Qur’an yang di wahyukan oleh Allah kepada beliau, dan tidak jarang pula
dengan cara ijtihad Rasulullah yang bersandar kepada ilham dari Allah, atau
berdasar kepada petunjuk akalnya. Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah
kemudian menjadi tasyri’ bagi umat Islam dan merupakan undang-undang yang wajib
diikuti, baik hal itu bersumber dari Allah maupun dari ijtihad Rasulullah
sendiri.
Meskipun demikian tetap saja ada beberapa sahabat yang melakukan ijtihad
sendiri untuk memutuskan persengketaan pada sebagian peristiwa hukum, misalnya:
1. Ali ibn Abi Thalib telah diutus oleh Rasulullah ke
Yaman sebagai qadhi. Rasulullah bersabda kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menunjuki hatimu dan meneguhkan lisanmu. Jika
di hadapanmu duduk dua orang yang bersengketa, janganlah engkau memberi
keputusan hukum hingga engkau mendengar keterangan dari pihak kedua sebagimana
engkau telah mendengar keterangan dari pihak pertama, karena hal itu lebih
memelihara jelasnya keputusanmu.”
2. Suatu ketika, ada dua orang sahabat sedang dalam
perjalanan. Kemudian datang waktu shalat sedangkan keduanya tidak mendapatkan
air. Yang seorang berijtihad dengan berwudlu dan mengulangi shalatnya,
sedangkan temannya berijtihad bahwa shalat yang dilakukan itu sudah mencukupi
dan tidak perlu mengulang shalat lagi.
3. Suatu ketika Rasulullah bersadbda kepada ‘Amr ibn Ash,
“putuskanlah perkara ini.” ‘amr
menjawab: “Apakah saya boleh berijtihad,
sedangkan tuan ada di depanku?” Rasul menjawab, “Ya, jika betul maka engkau mendapat dua pahala, dan jika keliru maka
engkau mendapat satu pahala.”
Contoh kasus diatas mempunyai pesan bahwa seseorang (sahabat) selain
Rasulullah boleh melakukan ijtihad hanya dalam situasi yang sangat khusus dan
mendesak saja. Keputusan para sahabat dalam kasus diatas hanya bersifat
penerapan hukum, bukan berupa tasyri’ dan bukan pula undang-uundang yang
ditetapkan untuk umat Islam, kecuali dengan ketetapan dari Rasulullah.
C. Sumber perundang-undangan (tasyri’ pada periode Rasulullah SAW)
Perundang-undangan di masa Rasulullah bersumber dari dua hal, yaitu wahyu
Allah dan ijtihad Rasulullah sendiri. Apabila muncul permasalahan yang
menghendaki peraturan seperti perselisihan, peristiwa hukum, pertanyaan, atau
permintaan fatwa, maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya satu atau beberapa
ayat yang memuat hukum yang dikehendaki. Kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu
yang lantas menjadi undang-undang yang wajib diikuti itu kepada umat Islam.
Namun apabila timbul sesuatu hal yang memerlukan peraturan, sedang Allah tidak
mewahyukan kepada Rasulullah ayat yang menjelaskan hukum dimaksud, maka
rasulullah berijtihad untuk mengetahui hukumnya. Hasil ijtihadlah yang
dipergunakan untuk memberi keputusan, atau memberi fatwa hukum, atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan, atau menjawab permintaan fatwa hukum. Sehingga ijtihad
Rasulullah menjadi peraturan yang wajib diikuti, di samping undang-undang
Allah.
Jika kita meneliti ayat-ayat hukum yang termuat dalam Al-Qur’an dan riwayat
para ahli tafsir tentang sebab turunnya masing-masing ayat, maka nampak jelas
bahwa tiap-tiap hukum Al-Qur’an itu disyariatkan untuk sesuatu kejadian yang
memerlukan ketetapan hukum. Sebagai contohnya:
1.
Qs. al-Baqarah ayat 217 dan 219
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ìök¤¶9$# ÏQ#tysø9$# 5A$tFÏ% ÏmÏù ( ö@è% ×A$tFÏ% ÏmÏù ×Î6x. (
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang
pada bulan Haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar.”
(217)
y7tRqè=t«ó¡o
ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù
ÖNøOÎ) ×Î72
ßìÏÿ»oYtBur
Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB
$yJÎgÏèøÿ¯R
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.”(219)
2.
Untuk mengatasi persengketaan yang sering terjadi dalam masalah harta
warisan, maka disyariatkanlah hukum warisan.
3.
Untuk mengatasi kebingungan yang menimpa sebagian suami ketika disyariatkan
hukuman qadzaf(menuduh berzina), maka disyariatkanlah hukum mula’anah antara
suami dan istri.
4.
Begitu pula hal-hal lainnya tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an.
D.
Pembinaan Hukum Islam pada Masa Rasulullah
Al-Qur’an mempermaklumkan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan hanyalah untuk
memperbaiki hal ihwal manusia. Oleh karena itu maka datanglah seruhan-seruhan
dan larangan-larangan:
NèdããBù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tur Ç`tã Ìx6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$#
“Nabi menyuruh
mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk-buruk.”(Qs. al-A’raf:157).[9]
Dalam pembinaan hukum Islam telah dipelihara empat dasar (asas):
1.
Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Berangsur-angsur ini berlaku dalam masa tasyri’ dan berlaku pula dalam
macam-macam hukum yang disyariatkan. Hikmah dari berangsur-angsurnnya masa
turunnya hukum ialah agar secara bertahap mudah diketahui isi undang-undangnya,
materi demi materi, dan mudah dipahami hukum-hukumnya secara sempurna, dengan
berpijak kepada peristiwa dan situasi yang memerlukan penetapan hukum.
Adapun tujuan hukum diturunkan dan disyariatkan secara berangsur-angsur
adalah agar segenap umat pada masa pertama memeluk agama Islam tidak dibebani
sesuatu yang menyusahkan, baik yang ingin dikerjakan maupun ingin ditinggalkan,
sehingga segenap umat bersedia menerima dan taklif.
Sebagaimana ketika Rasulullah ditanya masalah khamer dan judi, sedang
keduanya termasuk adat-istiadat yang kokoh dikalangan mereka. maka beliau
menjawab mereka dengan ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah: 219
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya".
ayat tersebut tidak menjelaskan tuntutan untuk
meninggalkannya, tetapi disuruh untuk memahaminya terhadap perbuatan yang tidak
banyak manfaatnya. kemudian Al-Qur’an menjelaskan kepada mereka tentang shalat
dalam keadaan mabuk sehingga mereka tidak mengetahui apa yang mereka katakan.
Allah berfirman dalam surat an-Nisa: 43
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan.”
Larangan ini tidaklah membatalkan kepada yang pertama
bahkan dia menguatkannya. Kemudian Al-Qur’an menjelaskan larangan sebagai keputusan secara tegas kepada suatu
hukum. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah: 90:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”
2.
Mengefisienkan pembuatan undang-undang.
Disini hukum-hukum disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya sekedar menurut
kebutuhan-kebutuhan hukum yang diperlukan, serta merespon kejadian yang
mengharuskan adanya hukum. Hikmah pembinaan dari tasyri’ ini adalah untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan mewujudkan kemaslahatan, maka sebaiknya pada
tiap masa peraturan itu dibatasi sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan
zamannya, sehingga orang-orang yang terdahulu, kini, dan yang akan datang,
tidak menemukan kesulitan akibat peraturan-peraturan diluar kebutuhan dan
kemaslahatan mereka.
Diantara prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam syariat Islam ialah bahwa
hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan. Untuk itu segala binatang dan
benda atau perjanjian atau transaksi yang tidak disyariatkan hukumnya oleh
dalil syara’ adalah boleh. Atas dasar inilah maka dengan mengefisienkan
undang-undangpun tidak mendatangkan kesempitan. Permasalahan apapun yang tidak
ada peraturan undang-undangnya, maka hukumnya boleh berdasarkan ibahah ashliyah(kebolehan menurut asal).
3.
Memberi kemudahan dan keringanan.
Prinsip ini paling menonjol dalam perundang-undangan hukum Islam. Dalam
banyak hal, hukum-hukum itu tujuannya adalah memberi kemudahan dan keringanan
bagi para mukallaf.
Dalam keadaan khusus dimana hukum ‘adzimah mendatangkan kesulitan, maka
disyariatkanlah hukum rukhshah (keringanan). maka dibolehkanlah hal-hal yang
terlarang ketika terjadi darurat, dan dibolehkan meninggalkan perbuatan wajib
jika untuk menunaikannya terdapat kesulitan. Adanya paksaan, keadaan sakit,
bepergian, khilaf, lupa, dan ketidaktahuan, merupakan alasan untuk keringanan
hukum.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 185:
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Pada ayat lain Allah juga berfirman dalam surat
al-Hajj: 78:
u$tBur @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4
“Dia(Allah)
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
4.
Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Bukti adanya prinsip ini adalah bahwa syari’ (pembuat undang-undang) banyak
memberikan ta’lil hukum dengan kemaslahatan manusia sebagai ‘illat hukum.
Syara’ menetapkan bahwa hukum-hukum yang ada berdasarkan ‘illat akan berputar
bersama ‘illatnya, yaitu adanya ‘illat menetapkan adanya hukum dan tidak ada
‘illat meniadakan hokum. untuk ini Allah mensyariatkan sebagian hukum, kemudian
membatalkan dan menghapusnya, Karena kemaslahatan mengharuskan perubahan yang
demikian.
Salah satu contohnya, mula-mula Allah mewajibkan menghadap Baitul Maqdis
ketika shalat, kemudian hukum ini dihapuskan dan diganti dengan perintah
menghadap Ka’bah ketika shalat.
Adanya penghapusan hukum, penggantian hukum, dan perubahan hukum, menjadi
bukti bahwa perundang-undangan dalam Islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat
manusia. Untuk memeliharanya maka pembuat undang-undang memperhatikan ‘urf
(adat kebiasaan masyarakat diwaktu peraturan berlaku) selama adat istiadat
tersebut tidak merusak salah satu dasar dari pokok agama. Oleh karena itu
syari’ (pembuat undang-undang) memperhatikan adanya kafa’ah (keseimbangan,
kufu) dalam perkawinan, memperhatikan ‘ashabah dalam hukum pewarisan dan
perwalian, serta mewajibkan pembayaran diyat (denda).
Demi kemaslahatan umat manusia, maka perlu diperhatikan adat kebiasaan
serta hal-hal yang biasa dilakukan masyarakat setempat (lokal), selama yang demikian
itu tidak berlawanan dengan pokok-pokok agama serta tidak mendatangkan
kemudharatan.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pada periode Rasulullah pembentukan tasyri’ terbagi
menjadi 2 yaitu:
a. Periode Makkah
Pada periode makiyyah
Rasulullah lebih memfokuskan kepada pembentukan Akidah dan moral masyarakat
makkah yang bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat mekkah pada masa itu.
Contohya, kebiasaan masyarakat mekkah
menyembah berhala, berjudi, meminum khamer, membunuh bayi perempuan, dan
berzinah. Setelah diangkatnya Nabi Muhammad dan berdakwah secara
terang-terangan barulah terbentuk Hukum Islam yang mengajak masyarakat mekkah
untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan terdahulu, dan menyembah kepada Allah
SWT.
Ketika Rasulullah mengajak
masyarakat makkah untuk menyembah Allah dan meninggalkan kebiasaan nenek moyang
terdahulu, terdapat perlawanan dari masyarakat mekkah yang membenci ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad sehingga Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Inti pembentukan Hukum pada
periode Makkiyah adalah membentuk akidah yang sesuai dengan ajaran Islam, dan
menyembah kepada Allah SWT.
b. Periode Madinah
Berbeda dengan periode
sebelumnya pada periode madinah sudah banyak masyarakat yang memeluk Agama
Islam dan telah terbentuknya pemerintahan yang tertata dengan rapih. Kemudian
mendorong Tasyri’ sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berhubungan dengan segala
aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam
Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah,
peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
2. Setelah pembentukan Hukum maka munculah Pembinaan
Hukum Pada Masa Rasulullah terdapat 4 dasar pembentukan Hukum Islam yaitu:
a. Berangsur-angsur dalam penetapan hukum.
Hukum diturunkannnya dan disyariatkannya
secara berangsur-angsur adalah bertujuan untuk memudahkan umat pada masa
pertama yang baru memeluk agama Islam
agar tidak dibebani sesuatu yang menyusahkan, baik yang ingin dikerjakan
maupun yang ingin ditinggalkan.
b. Mengefisienkan Pembuatan Undang-Undang.
Diantara prinsip-prinsip
yang ditetapkan dalam syariat Islam ialah bahwa hukum asal segala sesuatu
adalah dibolehkan. Untuk itu segala binatang dan benda atau perjanjian atau
transaksi yang tidak disyariatkan hukumnya oleh dalil syara’ adalah boleh. Atas
dasar inilah maka dengan mengefisienkan undang-undangpun tidak mendatangkan
kesempitan. Permasalahan apapun yang tidak ada peraturan undang-undangnya, maka
hukumnya boleh berdasarkan ibahah
ashliyah(kebolehan menurut asal).
c. Memberi Kemudahan dan Keringanan.
Prinsip ini paling menonjol
dalam perundang-undangan hukum Islam. Dalam banyak hal, hukum-hukum itu
tujuannya adalah memberi kemudahan dan keringanan bagi para mukallaf.
d. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan
umat manusia.
Bukti adanya prinsip ini
adalah bahwa syari’ (pembuat undang-undang) banyak memberikan ta’lil hukum
dengan kemaslahatan manusia sebagai ‘illat hukum. Syara’ menetapkan bahwa
hukum-hukum yang ada berdasarkan ‘illat akan berputar bersama ‘illatnya, yaitu
adanya ‘illat menetapkan adanya hukum dan tidak ada ‘illat meniadakan hukum.
B. Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses
pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan
karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami,
makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya pagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Asghar, asal-usul dan
perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan IKAPI.
Bik, Hudhari. 1980. Tarjamah Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami.
Semarang: Darul Ikhya.
Khallaf, Abdul
Wahhab.2005. Sejarah Hukum Islam. Bandung: Marja.
Khallaf, Wahab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, 1974.
Solo: CV.Ramadhani.
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sirri, Mun’in.1995. sejarah fiqih
Islam sebuah pengantar. Risalah
Gusti
Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam
dalam lintasan sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar