BAB I
PEMBAHASAN
A.
IHTISAN
1. Pengertian Istihsan
Dalam
bahasa arab ihtisan berarti menganggap sesuatu itu baik, menurut istilah adalah
meralihkan pemikian seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada
qiyas yang samara tau dari hokum umum kepada perkecualian karena ada kesalahan
pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
Adapun
dalam term yang dipakai oleh ahli ushul fiqih adalah meninggalkan hukum suatu
hal atau peristiwa yang bersandar kepada dalil syara’ menuju kepada hokum lain
yang bersandar pada syara’ pula. Karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkan dalil tersebut. Dalil syara’ terakhir ini
disebut dasar atau sandaran (ihtisan) . dengan kata lain berpindahnya seorang
mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy kepada qiyas khafiy, atau dari hukum khurli
kepada hokum pengecualian, karena ada dalil lain yang dimenangkan. Seperti
membunuh orang islam yang ditawan oleh orang kafir didalam peperangan,
sedangkan orang islam yang ditawan itu dijadikan perisai oleh orang kafir, maka
orang islam itu boleh dibunuh karena menjaga kebaikan tentara islam dan umat
islma yang banyak.[1]
Istihsan[2] adalah
sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminology dan istimbath hokum oleh dua
imam madhab yaitu imam malik dan imam abu Hanifah. Bahkan imam malik menilai
bahwa pemakaian ihtisan merambah 90 persen dari ilmu(fiqih). Sementara itu
murid-murid abu hanifah, tidak sejalan dengan gurunya. Ihtisan dipandang tidak
jelas kriterianya. Pada dasarnya imam abu hanifah tetap menggunakan dalil
qiyas, selama masih dipandang tepat. Namun jika pemakaian dalil itu pada
situasi tertentu dinilai kurang pas, maka ia beralih kepada dalil ihtisan.
2.
Macam-macam
ihtihsan.
Dalam
ihtisan ada dua dalil yang menetapkan hukum suatu hal atau peristiwa, kemudian
seorang mujtahid meninggalkan salah satu dalil yang kuat atau jelas kepada
dalil yang lain sebab ada suatu hal. Sedangkan dalam maslahah mursalah suatu
peristiwa adalah baru sama sekali dan tidak ada hukumnya, baik dari nash
al-Qur’an dan hadist, ijma’ ataupun qiyas. Dalam hal ini seorang mujtahid
mengeluarkan hukumnya demi mewujudkan kepentingan tertentu. Ihtisan dapat
dibedakan menjadi dua segi [3]:
a. Dari
segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai yaitu:
1) Dari
qiyas jaliy menuju qiyas khafiy.
Misalnya menurut qiyas
hak dan mengairan dan jalan lintas yang ada dalam tahan pertanian yang
diwakafkan. Tidak termasuk yang diwakafkan jika tidak disebutkan dengan jelas,
menurut ihtisan dapat masuk.
Menurut qiyas jaliy
wakaf tersebut dipersamakan dengan jual beli karena persamaan tujuan yakni
mengeluarkan hak milik atas sesuatu dari orang yang mempunyainya . dalam jual
beli hak pengaliran dan jalan lintas tidak termasuk, dan demikian juga dengan
wakaf.
Sedangkan menurut qiyas
khafiy wakaf tersebut disamakan dengan sewa menyewa, karena tujuannya sama
yakni mengambil manfaat barang bukan miliknya, dalam menyewakan tanah pertanian
hak pengairan dan jalan lintas termasuk dalam hal sewa menyewa, meskipun tidak
disebutkan demikian juga dengan wakaf.
Meninggalkan ketentuan
qiyas jaliy dan mengambil ketentuan qiyas khafiy seperti dalam contoh diatas
dinamakan ihtisan.dasarnya ialah pengambilan manfaat dari barang wakaf.
2) Dari
ketentuan nash yang umum menuju hokum yang khusus.
Misalnya: pengecualian
sangsi potong tangan pencuri dari ketentuan ayat 38 surat al-maidah yang
menyatakan adanya sangsi tersebut apabila pencurian tersebut dilakukan dalam
musim paceklik (kelaparan). Sebagaimana yang telah dilakukan oleh umar r.a,
3) Dari
hkum yang umum kepada hokum pengecualian.
Misalnya : seorang yang
dititipi suatu barang, lalu barang itu hilang atau rusak, ia harus menggantinya
jika ia melalaikan pemeliharaan barang tersebut. Dari segi ketentuan ihtisan,
seorang ayah tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia bisa menggunakan
harta benda anaknya untuk menafkahi hidupnya (anak) atau untuk dagang yang
memungkinkan untuk dapat mengalami kerugian.
b. Segi
sandaran ihtisan yaitu:[4]
1) Dasar
yang berupa khiyas seperti contoh diatas.
2) Dasar
yang berupa nash; seperti larangan menjual barang yang tidak ada atau belum
jelas. Akan tetapi menurut ihtisan diperbolehkan untuk salam atau memesan
terlebih dahulu.
3) Dasar
yang berupa kebiyasaan ; seperti pesan pakaian yang seharusnya tidak sah karena
barangnya belum ada. Akan tetapi menurut ihtisan, hal itu diperbolehkan karena
perbuatan semacam itu telah menjadi kebiyasaan.
Golongan
hanafiyah menjadikan ihtisan sebagai hujjah atau dalil hukum, demikian juga
sebagian besar dari golongan malikiyah dan hanabilah mengutamakan ihtisan dalam
penerapan hokum . adapun imam as-syafi’I mengingkari istihsan sebagai hujjah,
katanya barang siapa yang berihtisan, berarti ia telah mengadakan syari’at
sendiri, sedangkan yang berhak mengadakan hanyalah Allah dan rasulnya. Ia
beranggapan demikian, mungkin ihtigsan sebagai suatu yang dipandang baik oleh
seorang mujtahid menurut akal pikirannya semata-mata tanpa bersandar pada
dalil/nash. Namun pengertian yang dimaksud oleh as-syafi’I bukanlah yang
dikehendaki oleh golongan hanafiyah itu sendiri.
3. Kekuatan ihtihsan sebagai hujjah[5].
Dari
penjelasan kedua macam ihtisan tersebut jelaslah pada hakikatnya ihtisan
bukanlah sumber hokum yang berdiri sendiri, karena dalil hokum dari bentuk
ihtisan pertama adalah kias yang tersembunyi yang diunggulkan dari pada qiyas
yang nyata, sebab hal-hal tertentu yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul,
dan itu adalah alas an istihsan. Sedangkan dalil dari bentuk ihtisan yang kedua
adalah kemaslahatan yang menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari
hokum umum dan hal itu juga dianggap sebagai alas an ihtisan.
Diantara orang-orang yang berhujjah
dengan ihtisan adalah mayoritas kelompok Hanafi. Mereka beralasan. Pengambilan
dalil dengan ihtisan adalah mengambil dalil dengan qiyas yang samar yang
mengalahkan qiyas yang nyata atau memenangkan qiyas atas qiyas yang lain yang
menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari
hokum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar.
4. Alasan ulama’ yang tidak berhujjah dengan ihtisan[6].
Sebagian
kelompok mujtahid mengingkari kebenaran ihtisan, mereka menganggapnya sebagai
pembentukan hokum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Diantara
tokohnya adalah Imam syafi’I, seperti
telah dinukilkan darinya: siapa yang menggunakan ihtisan berarti ia membuat
syari’at. Artinya orang itu membuat hokum syari’at sendiri. Disebutkan dalam
kitab risalah ushuliyahnya adalah
berenak-enak, seandainya melakukan ihtisan dalam agama itu diperbolehkan,
niscaya boleh juga dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai akal meskipun
bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh menciptakan syari’at dalam agama disetiap
permasalahan, serta setiap orang boleh membuat syari’at untuk dirinya sendiri.
Kedua
kelompok yang berbeda pendapat tentang ihtihsan tidak sepakat dalam membatasi
definisinya, kelompok yang setuju menghendaki ihtisan itu berbeda dengan apa
yang dikehendaki kelompok yang tidak setuju. Seandainya mereka sepakat atas
batasan definisinya mereka tidak akan berbeda pendapat dalam kehujjahan
istihsan, karena ihtihsan kenyataannya adalah berpindah dari dalil yang jelas
atau dari hokum yang umum karena ada dalil yang menuntut untuk itu tidak
membuat syari’at seenaknya sendiri.
Dalam
kitab al-muubiqat imam as-syathibi menerangkan;
orang yang melakukan istihsan tidak menggantungkan pada daya rasa dan
keinginannya, namun harus menggantungkan pada apa yang diketahui tentang tujuan
syari’ secara global dalam hikmah sesuatu yang ditampakkan. Seperti
masalah-masalah yang dituntut oleh qiyas sebagai perintah, hanya saja perintah itu dalam satu sisi dalam menyebabkan
rusaknya kemaslahatan atau menarik suatu kerusakan dari sisi yang lain.
B.
MASLAHAH MURSALAH
1.
Pengertian Maslahah
Secara
etimologi, Maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat. Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi Maslahah yang
di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung
esesnsi yang sama. Imam Ghozali mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah
adalah mengambil manfaat dan menolak kemdharatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’.[7]
Sama
halnya dengan penjelasan dari refrensi buku lain bahwasannya Maslahah mursalah
adalah kebaikan (kemaslahatan yang tidak di singgung-singgung syara’ secara
jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan
membawa manfaat atau menghindari kerusakan atau keburukan, seperti seseorang
menghukum sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama.[8] Apakah
perbuatan itu haram atau boleh, maka hendaknya dipandang kemudharatan dan
kemanfaatannya. Bila kemudharatan lebih banyak dari kemanfaatannya berarti
perbuatan itu terlarang, maka sebaliknya bila kemanfaatanya lebih banyak
dibanding dengan kemudharatannya berarti perbuatan itu dibolehkan oleh agama,
karena agama membawa kepada kebaikan. Dalam praktiknya, mashlahah tidak banyak
perbedaan nya dengan ihtihsan. Perbedaan dalam ihtihsan adalah mengecualikan
suatu hukum dari peraturan yang umum yang diterapkan oleh qiyas, sedangkan maslahah
mursalah tidak ada penyimpangan dari qiyas.
2.
Dalam
maslahah mursalah diharuskan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Hanya
berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak akan berubah-ubah
b. Tidak
berlawanan dengan maksud syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah terkenal
(tidak bertentangan dengan nash)
c. Maslahah
ada karena kepentinagan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat
Imam
malik adalah seorang faqih yang paling banyak menggunakan maslahah mursalah
ini. Ia beralasan bahwa Tuhan mengutus Rasul-Rasul-Nya untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Jika ada kemaslahatan, kuatlah dugaan kita bahwa
kemaslahatan itu syara’, karena hukum Allah diadalan salah satunya untuk
kepentingan manusia.[9]
3.
Contoh-contoh
maslahah mursalah adalah:
a.
Dalam Al-qur’an
dan Sunnah Rasul tidak ada nash yang melarang mengumpulkan Al-Qur’an dari
hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian, para sahabat dizaman Abu
Bakarbersepakat untuk menulis dan mengumpulkannya, karena mengingat
kemaslahatan ummat, yang saat itu sahabat penghafal Al-qur’an banyak yang
meninggal dunia.
b.
Tatkala Islam
masuk ke irak, tanah Irak masih dimiliki oleh para pemilik asalnya dengan
dikenaki pajak (kharaj), karena untuk menjaga kemaslahatan umat islam umumnya.
Seharusnya empat perlima tanah tersebut diberikan kepada orang yang memerangi
peperangan sebagai harta rampasan atau keuntungan perang.
c.
Pencatatan
perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya gugatan dalam
perkawinan, nafkah, pembagian harta bersama, waris dan lainnya.
4.
Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Golongan
maliki sebagai pembawa bendera maslahatul mursalah, sebagaomana telah
disebutkan, mengemukakan tiga alas an sebagai berikut:
a.
Praktek oara
sahabat yang telah menggunakan maslahatul mursalah adalah sebagai berikut:
1) Sahabat
mengimpulkan al-quran ke dalam beberapa mushaf, padahal hal ini tidak
p[ernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasannya tidak lain kecuali
semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan aatu
kehilangan kemutawaturannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidh
dari generasi sahabat.
2) Khulafa
ar-rasyidin menetapkan menanggung ganti rugi kepada para tukang, bahwa menurut
hokum asal kekuasaan mereka di dasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi
seandainya mereka tidak di bebani tanggung jawab mengganti ganti rugi, mereka
akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda
orang lain yang di bawah tanggung jawabnya.
3) Umar
bin Khatab R.A memerintahkan kepada para penguasa (pegawai negeri) memisahkan
antara garta kekayaan pribadi dengan harta yang di peroleh dari kekuasaannya.
Karena Umar melihat bahwa dengan cara itu pegawai dapat menunaikan tugasnya
dengan baik, tercegah dari melakukannya manipulasi atau melakukan hal yang
tidak halal.
4) Umar
bin Khatab R.A sengaja menumpahkan susu yang di campuri dengan air, guna member
pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap umar itu
tergolong dalam kategori maslahat.
5) Para
sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jamaah),
lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-sama melakukan
pembunuhan tersebut, karena memang kemaslahatan menghendakinya.
b.
Adanya maslahat
sesuai dengan maqasid as-syari’ (tujuan-tujuan syari’), artinya denagan
mengambol maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-Syari’.
Sebaliknya mengesampingkan maslahat
berarti mengesampingkan maqasid as-Syari’. Sedangkan mengesampingkan maqasid
as-syari’ adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib mengginakan dalil
maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri.
Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul, bahkan terjadi sinkronisasi
anatar maslahat dan maqasid as-syari’.[10]
c.
Seandainya
maslahat tidak di ambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama
berada dalam konteks maslahat-maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf
akan mengalami kesulitan dan kesempitan. Allah SWT berfirman:
5.
Syarat
menjadikannya sebagai Hujjah
Para
ulama yang menjadikan maslahah mursalah sebagai sebagai hujjah sangat berhati-
hati dalam menggunakannya, sehingga tidak terjadi pembentukan hukum berdasarkan
keinginan dan nafsu. Oleh karena itu mereka menetapkan tiga syarat dalam
menjadikannya sebagai hujjah:
Pertama, berupa
kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu. Artinya, penetapan
hukum syara’ itu dalam kenyataannya menarik suatu manfaat atau menolak bahaya.
Jika hanya di dasarkan bahwa penetapan hukum itu mungkin menarik suatu manfaat,
tanpa membandingkannya dengan yang menarik suatu bahaya, berarti didasarkan
atas kemaslahatan yang semu.
Kedua, berupa
kemaslahatan yang umum, bukan
kemaslahatan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya
dapat menarik bagi umat manusia atau menolak bahaya dari mereka, bukan bagi
perorangan atau bagian kecil dari mereka. Hukum tidak di tetapkan demi kemaslahatan
khusus para pimpinan atau pembesar saja, dengan tidak melihat mayorotas atau
kemaslahatan mereka. Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas umat manusia.
Ketiga, penetapan hukum untuk kemaslahatan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum atau dasar yang di tetapkan denagn nash atau ijma’,
maka tidak sah menganggap bsuatu kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris
antara hak laki-laki dan perempuan. Kemaslahatan semacam ini sia-sia karena
bertentangan dengan nash al-qur’an.[11]
6.
Alasan
ulama yang tidak berhujjah dengan Al-maslahah mursalah[12]
a.
Maslahat yang
tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk
pelampiasan dari keinginan nafsu yang cenderung mencari keenakan. Dalam
menjelaskan alas an tersebut dalam kaitannya dengan ihtisan dan maslahatul
mursalah, imam al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya kita tahu dan yakin bahkan
pada hawa nafsu dan syahwat tanpa memandang indikasi dan dalil. Ihtisan tanpa
memperhitungkan dalil-dalil syara’ adalah hukum yang di dasarkan pada hawa
nafsu semata.
b.
Maslahat
andaikan dapat di terima (mu’tabarah), ia termasuk dalam kategori qiyas
dalam arti luas atau umum. Andaikan tidak mutabarrak maka ia tidak tergoloing qiyas.
Tidak bias dibenarkan bahwa suatu anggapan bahwa suatu masalah terdapat maslahat
mu’tabarah sementara maslahat itu tidak termasuk ke dalam nash atau qiyas.
Sebab pandangan seperti nitu akan membawa ke suatu kesimpulan tentang
terbatasnya nash-nash al-qur’an atau hadist nabi dalam menjelaskan syari’ah
dengan kenyataan tabligh yang telah diperankan oleh Nabi SAW.
c.
Mengambil dalil maslahat
tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat kepada suatu
penyimpangan dari hukum syari’at dan tindakan kelaliman terhadap rakyat dengan
dalil maslahat, sebagaimana yang di lakukan oleh raja-raja yang lalim.
d.
Seandainya kita
memakai maslahat sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal
itu akan timbul terjadinya perbedaan hukumakibat perbedaan Negara. Bahkan
perbedaan perorangan di suatu perkara.
7.
Menetralisir
pertentangan pendapat
Jumhur
fuqaha’ sepakat bahwa maslahat vdapat diterima dalam fiqih islam. Dan setiap
maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan di latarbelakangi
oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan dengan nash serta
maqasid as-syari’. Hanya saja golongan syafi’iyah dan hanafiyah sangat
memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus mengacu pada ‘illat yang
jelas batasannya. Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa sifat
munasib yang merupakan alas an adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya,
patut menbjadi ‘illat bagi qiyas. Oleh karena itu ia dapat
diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas
berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah ‘illat
itu mundhiobittah atau tidak. Karena begitu dekatnya pengertian sifat
munasib dan maslahat mursalahsehingga sebagian ulama madhab Maliki
menganggap bahwa sesungguhnya semuanya ulama ahli fiqih memakai dalil maslahat,
meskipun mereka menanamkannya sifat munasib, atau memasukkannya kedalam qiyas.[13]
C.
ADAT
ATAU ‘URF
1. PENGERTIAN ‘ADAT DAN ‘URF
Kata urf berasal dari
kata arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti “sesuatu
yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian diakui
oleh orang lain.
Sedangkan kata ‘adat
berasal dari bahasa arab dari akar kata : ‘ada, ya’udu mengandung arti takror
(perulangan). Karena itu, sesuatu yang dilakukan satu kali, dua kali belum
dikatakan sebagai adat.
Kata urf pengertiannya
tidak dilihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari
segi bahwa perbuatan tersebut sudah lama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah
menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam
kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.[14]
Sedangkan perbedaan
antara kata adat dan urf adalah kata adat menunjukkan suatu perbuatan yang
sudah dikenal dan diakui oleh orang banyak tapi tidak ada penilaian baik dan
buruk atas perbuatan tersebut. sedangkan urf adalah suatu perbuatan yang
dikenal dan diakui oleh masyarat serta ada penilain baik pada perbuatan
tersebut.
2.
MACAM-MACAM
‘ADAT
Dari materi yang biasa
dilakukan :
a.
Urf qouli
Yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata ucapan. Misalnya waladun secara
etimologi mempunyai arti anak yang digunakan untuk anak laki-laki. Akan kata
ini juga digunakan untuk anak perempuan dalam masalah waris.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Arab, kata
walad digunakan hanya untuk anak laki-laki.
Pengggunaan kata “lahmn” tidak hanya untuk
daging sapi, unta akan tetapi segala jenis daging termasuk daging ikan.
uqèdur
Ï%©!$#
t¤y
tóst7ø9$#
(#qè=à2ù'tGÏ9
çm÷ZÏB
$VJóss9
$wÌsÛ
(#qã_Ì÷tGó¡n@ur
çm÷YÏB
Zpuù=Ïm
$ygtRqÝ¡t6ù=s?
ts?ur
ù=àÿø9$#
tÅz#uqtB
ÏmÏù
(#qäótFö7tFÏ9ur
ÆÏB
¾Ï&Î#ôÒsù
öNà6¯=yès9ur
crãä3ô±s?
ÇÊÍÈ
Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (An-Nahl : 14)
b.
Urf fi’li
Yaitu kebiasaan yang berlaku pada kebiasaan.
Umpamanya kebiasaan jual-beli tanpa menggunakan ucapan transaksi (aqad).
Kebiasaaam mengambil rokok milik teman tanpa adanya ucapan meminta dan member
tidak dianggap mencuri.
Dari segi ruang lingkup penggunaannya :
a.
Urf umum
Yaitu kebiasaan yang berlaku dimana-mana, hamper
diseluruh penjuru dunia tanpa memandang
Negara, bangsa dan agama. Misalnya menganggukkan kepala sebagai tanda
persetujuan dan menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.
b.
Urf khusus
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok
orang didaerah tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disembarang
tempat dan waktu. Adat menarik garis keturunan melalui garis ibu (matrilineal)
di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku batak. Selain
itu ada juga penggunaan kata budak di daerah tertentu menunjukkan arti
anak-anak bukan hamba sahaya.
Dari segi penilaian baik dan buruk
a.
Urf shahih
Adalah kebiasan yang berlaku di
tengah-tngah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalanya ,
dalam masa pertunangan laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan
hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.[15]
b.
Urf fasid
Adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’
atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.
3. PENYERAPAN ‘ADAT DALAM
HUKUM
a.
Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya
mengandung unsur kemaslahatan.
b.
Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur
maslahat (tidak mengandung unsur mafsadat atau madarat) namun dalam
pelaksanaannya tidak dipandang baik oleh islam.
c.
Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat
dan tidak mengandung unsur manfaat.
d.
Adat atau urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak
karena tidak mengandung unsur mafsadat dan tidak bertentangan dengan dalil
syara’ yang datang kemudian, namun secara jelas belum terserap kedalam syara’.
4. PERBENTURAN DALAM ‘URF
a.
Perbenturan antara urf dengan syara
Yang dimaksud perbenturan (pertentangan) antara
syara’ dan urf adalah perbedaan dari segi penggunaan suatu ucapan ditinjau dari
segi urf dan syara’.
1) Bila perbenturan urf dan syara’ tidak berkaitan dengan materi hokum maka
didahulukan urf.
2) Bila perbenturan urf dan syara’ dalam hal yang berkaitan dengan materi
hokum maka didahulukan syara’.
b.
Perbedaan antara urf qouli dengan penggunaan kata dalam pengertian bahasa.
c.
Perbenturan urf dengan umum Nash yang perbenturannya tidak menyeluruh.
Contoh yang popular untuk menunjukkan perbedaan
antara urf dengan nash yang umum adalah akan jual beli salam. Umum Nash melarang
jual beli barang yang tidak ada ditangan sewaktu berlangsung akad jual beli.
Karena itu , umum nash melarang jual beli salam yang tidak ada barang ditangan
pada waktu berlangsungnya akad. Namun karena jual beli dalam bentuk salam ini
telah menjadi urf yang umum berlaku dimana saja maka dalam hal ini urf tersebut
dikuatkan.
d.
Perbenturan urf dengan qiyas
Hamper semua ulama berpendapat untuk
mendahulukan urf atas qiyas. Karena dalil untuk menggunakan urf adalah suatu
kebutuhan dan hajat orang banyak sehingga ia harus didahulukan atas qiyas.
Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli
lebah dan ulat. Imam Hanafi pada awalnya mengharamkan jual beli lebah dan ulat
sutra dengan menggunakan dalil qiyas yaitu mengqiyaskannya kepada kodok dengan
alas an sama-sama hama tanah. Namun kemudian terlihat bahwa kedua jenis
serangga ini mempunyai manfaat dan telah terbiasa untuk memeliharanya (sehingga
telah menjadi urf). Atas dasar ini, muridnya yaitu Muhammad ibn Hasan
Al-Syaibani membiolehkan jual beli ulat sutra dan lebah berdasarkan urf.
5. KEDUDUKAN ‘URF DALAM
MENETAPKAN HUKUM
Kehujahan uraf atau adat dalam istinbath hokum ,
hamper selalu dibicarakan urf atau adat secara umum. Namun sudah dijelaskan
bahwa urf yang sudah diambil oleh syara’ dan ditolak oleh syara’ tidak perlu
diperbincangkan lagi kehujahannya.
D. ISTISHAB
1. Pengertian Istishab
Istishab
menurut bahasa Arab ialah : pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut
para ahli ushul fiqh, adalah : Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan
keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan
tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap
pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
Maksudnya,
apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain
yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada dimasa lampau itu tetap
berlaku sebagaimana adanya.
Dan apabila perkara tersebut tidak ditetapkan hukumnya pada suatu waktu maka ia
tetap tidak ada hukumnya pada masa sesudahnya, sehingga terdapat dalil yang
menetapkan hukumnya. [16]
a.
Menurut
Al-Ghazali
Memberikan definisi istishab dengan istilah itu
berpegang pada dalil akar atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui
adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian dengan cermat,
diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. [17]
b. Menurut
Abd. Al-Wahab Khallaf
Dalil syara’ yang berakhir yang digunakan pegangan
oleh mujtahid untuk mengetahui hukuman dari sesuatu yang disodorkan padanya.
c. Menurut
al-Shaukani
Bahwasanya
apa yang telah ada pada masa yang lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih
ada dimasa sekarang dan pada masa yang akan datang.
d.
Menurut Wahba
Al-Zuhaili
Suatu hukum terhadap penetapan suatu perkara atau
meniadakannya pada saat sekarang atau yang akan datang berlandaskan atas
ketetapan atau peniadaan hukum pada masa yang lalu karena tidak ada dalil yang
merubahnya.[18]
Apabila seseorang mujtahid ditanyai
tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu pengelolaan, dan ia tidak menemukan
nash dalam al qur’an atau sunnah, dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang
membicarakan hukumnya, maka ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau
pengelolaan tersebut berdasarkan atas kaidah :
“sesungguhnya
asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan”
Dan hal ini
merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu yang ada di bumi,
seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan
perubahannya, maka sesuatu itu tetap pada kebolehan yang asli.
Apabila
seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat,
tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal
perbuatan dan ia tidak menemukan dalil syar’i atas hukumnya, maka ia menetapkan
hukum dengan kebolehannya. Karena sesungguhnya kebolehan (ibahah) adalah
asalnya, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya.
2.
Kedudukannya
sebagai Sumber Hukum Islam
Adapun penetapan dalil untuk istishab ini ditetapkan
melalui dua dalil, yaitu:
a. Dalil
syara’, berdasarkan penelitian terhadap hokum syara’ bahwa hokum syara’ itu
tetap berlaku karena berdasar dalil yang menetapkan. Contoh: setiap sesuatu
yang menimbulkan mabuk ditetapkan oleh syara’ menjadi haram, kecuali apabila
telah berubah sifatnya dan telah hilang sifat yang memabukkan.
b. Dalil
akal, bahwa permulaan asal sesuatu itu adalah menguatkan hukumnya, contoh tidak
adanya tuduhan terhadap seseorang itu halal darahnya karena murtad kecuali
apabila sudah ada dalil yang menyatakan kemurtadannya, karena yang asal adalah
haram darahnya.[19]
3. Macam-Macam Istishab
a. Isitishab
yang tak ada asal yaitu yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula
ketetapannya pada syara’.
Contoh: wajib sembahyang yang enam waktu sehari
semalam, diterima oleh akal atas tidak adanya dan tidak ada pula dasar dalam
agama yang menetapkan wajibnya.
b. Istishab
yang dikehendaki umum dan nash sampai ada perubahan baik secara takhsis ataupun
secara nasakh.
Contoh: perkawinan tetap sah selama tidak ada yang
mengubahnya, dapat pula batal apabila ada yang mentakhsiskan atau
menasakhkannya seperti thalaq, fasakh dan khulu’ atau disebabkan meninggalnya
seseorang.
c. Istishab
dalil syara’ atas tetapnya dan berkekalannya karena ada sebab.
Contoh: seorang membeli mobil, mobil itu tetap
menjadi hak miliknya selamanya, selama tidak ada pemindahan hak miliknya kepada
orang lain. Jadi dia tetap mempunyai hak milik terhadap mobil itu, karena ia
membelinya.
d. Istishab
menurut ijma’ atas hukum pada tempat yang berlainan.
Contoh: seorang yang sembahyang dengan bertayammum,
apabila dia memperoleh air tidak membatalkan sembahyang atau tidak perlu
mengulang sembvahyangnya lagi.[20]
4. Pendapat Ulama’ Tentang Istishab
a. Menurut
kebanyakan mutakallimin, bahwa istishab itu bukan merupakan dasar hokum Islam,
karena ketetapan hukumpada masa yang pertama membutuhkan dalil, demikian juga
pada masa yang kedua.
b. Pendapat
jumhur Hanafiah yang akhir, bahwa istishab itu merupakan hujjah untuk menolak
atau meniadakan bukan untuk menetapkan atau menguatkan, mereka mengatakan
bahwa, istishab itu adalah suatu ulasan untuk menetapkan sesuatu yang telah ada
atas sesuatu yang ada, bukan untuk menetapkan sesuatu yang belum ada.
c. Pendapat
jumhur Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah dan ahli dhohir, bahwa istishab adalah
dasar hokum islam secara mutlak untuk menetapkan hokum yang telah tetap sampai
datang dalil atas perubahannya, maka istishab itu patut untuk
menyatakan/menguatkan sesuatu sebagaimana juga patut untuk menolaknya.[21]
5.
Kehujjahan Istishab
Sebagai dikemukakan oleh Abu Bakar
Ismail Muhammad Miqa bahawa ulama dibagi menjadi dua dalam menentukan
kehujjahan istishab. ulama yang menerimanya dan ulama yang menolaknya. ulama
yang menerima istishab sebagai hujjah berargumen bahwa dalam muamalah dan
pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku diantara
mereka. ia dapat dijadikan dasar untuk menentukan hokum tersebut selama tidak
ada dalil yang merubahnya. rujukan tekstualnya adalah al-Qur’an (QS. Al-Baqarah
ayat 29). ulama yang menerima istishab dapat dibedakan menjadi tiga:
a)
Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagai ulama
Syafi’iyah, dan Hanafiah berpendapat bahwa istishab dapat dijadikan hujjah
Syar’iyyat ketika tidak ada dalil dari al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang merubahnya.
b)
Sebagian ulama hanafiah dan sebagian ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa istishab bukanlah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang;
ia sekedar mengetahui hukum masa lalu sedangkan untuk menentukan hukumnya
sekarang ini. ia memerlukan dalil.
c)
Kebanyakan ulama hanafiah berpendapat bahwa istishab adalah
untuk menentukan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain. ulama
ini menolak istishab akal.
Sedangkan ulama yang menolak
kehujjahan istishab berargumen bahwa penentuan halal, haram, sucinya sesuatu
memerlukan dalil yang dalil itu tidak didapat kecuali dari “Syari”. Dalil
syar’iy terdapat dalam nash al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Kalau tidak ditemukan sesuatu
perbuatan atau perjanjian baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah atau dalil
sayara’ yang lainya maka perjanjian atau perbuatan itu dianggap mubah
berdasarkan asal segala sesuatu itu mubah selama belum ada dalil yang
menunjukkan hukumnya berubah. umpamanya hukum daging binatang, benda,
tumbuh-tumbuhan; makanan atau perbuatan yang tidak diterangkan hukumnya oleh
syara’ maka ditetapkan mubah karena mengingat asal segala sesuatu itu mubah.
Istishab dijadikan salah satu dalil
syara’ menurut mazhab Syafi’i. dan diantara contoh hukum yang bersumber dari
istishab umpamanya si A telah diketahui dengan pasti menikah dengan si B maka
kedua orang tadi masih dianggap sebagai suami istri selama tidak ditemukan
bahwa mereka berdua telah bercerai.
Seorang yang sudah berwudhu kemudian
timbul was-was bahwa ia terasa kentut, maka ditetapkan bahwa ia masih dalam
keadaan suci selama tidak ditemukan bukti bahwa ia batal seperti bunyi kentut
atau bau kentutnya. demikianlah setiap yang sudah diyakini adanya dianggap akan
tetap ada sampai ada bukti yang menunjukkan perubahnya dan sebaliknya yang
sudah diyakini tidak ada, ditetapkan tidak ada sampai ada bukti yang
menunjukkan adanya.
Sedangkan Kalangan hanafiyah dan
malikiyah berpendapat bahwa istishab ada bukan untuk menimbulkan hak yang
baru. Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu meskipun ia masuh dianggap
masih hidup, yang dengan itu istrinya masih dianggap sebagai istrinya dan
hartanya juga masih berstatus sebagai miliknya sebagai orang yang masih hidup,
namun jika ada ahli waris yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus
disimpan dan balum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia masih
hidup. Jika terbukti ia telah wafat daan ternyata lebih dulu wafatnya
dibandingkan warisnya maka kadar pembagiannya yang disimpan dibagi antara ahli
waris yang ada. Alasan mereka karena keadaannya masih hidup semata-mata
didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara fakta.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ihtisan
Dalam
bahasa arab ihtisan berarti menganggap sesuatu itu baik, menurut istilah adalah
meralihkan pemikian seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada
qiyas yang samara tau dari hokum umum kepada perkecualian karena ada kesalahan
pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
a.
Macam-macam
ihtihsan.
c. Dari
segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai yaitu:
a) Dari
qiyas jaliy menuju qiyas khafiy.
b) Dari
ketentuan nash yang umum menuju hokum yang khusus.
c) Dari
hkum yang umum kepada hukum pengecualian.
d. Segi
sandaran ihtisan yaitu:
4) Dasar
yang berupa khiyas
5) Dasar
yang berupa nash
6) Dasar
yang berupa
2.
Maslahah,
Secara
etimologi sama dengan manfaat, baik dari
segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologi, terdapat
beberapa definisi Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh,
tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esesnsi yang sama. Imam Ghozali
mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah mengambil manfaat dan
menolak kemdharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
a.
Dalam maslahah
mursalah diharuskan syarat-syarat sebagai berikut:
d.
Hanya berlaku
dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak akan berubah-ubah
e.
Tidak berlawanan
dengan maksud syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah terkenal (tidak
bertentangan dengan nash)
f.
Maslahah ada
karena kepentinagan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
3.
Urf
adalah
segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan
atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan
meninggalkan perbuatan tertentu
a. Macam-Macam
‘Adat
Dari materi yang biasa
dilakukan :
c.
Urf qouli
d.
Urf fi’li
·
Dari segi ruang lingkup penggunaannya :
Ø Urf umum
Ø Urf khusus
·
Dari segi penilaian baik dan buruk
c.
Urf shahih
d.
Urf fasid
4. Istishab
menurut bahasa Arab ialah :
pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, adalah :
Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada
dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum
yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga
ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
a. Macam-Macam
Istishab
1) Isitishab
yang tak ada asal yaitu yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula
ketetapannya pada syara’.
2) Istishab
yang dikehendaki umum dan nash sampai ada perubahan baik secara takhsis ataupun
secara nasakh.
3) Istishab
dalil syara’ atas tetapnya dan berkekalannya karena ada sebab.
4) Istishab
menurut ijma’ atas hukum pada tempat yang berlainan.
B. Saran
Kami
sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, serta masih
banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik
dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik
lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat
memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abu zahroh, Muhammad. 1994, Ushul Fiqih.Jakarta: PUSTAKA FIRDAUS.
Bakry, Nazar. 1993 , Fiqih Dan Usul Fiqih. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Haroen, Nasrun. 1996, Ushul Fiqh
1. Jakarta: LOGOS.
Nur, Saifudin. 2007, Ilmu Fiqh (suatu pengantar komprehensip
kepada hokum islam), Bandung: HUMANIORA.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel.
2011, Studi Hukum Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pers,
Wahab Khallaf, Abdul 1977. ilmu Ushul Fiqih (kaidah hukum islam). Ruwaid:
Darul Qalam.
[1] Nazar bakry, fiqih dan usul fiqih (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993) 61.
[2] Muhammad Abu zahroh, ushul fiqih (Jakarta: PUSTAKA FIRDAUS,
1994)401.
[3] Saifudin Nur ilmu fiqh (suatu pengantar komprehensip
kepada hokum islam) (Bandung: HUMANIORA, 2007) 55
[4] Ibid; 56
[5] Abdul wahab Khallaf ilmu
ushul fiqih (kaidah hokum islam) (Ruwaid: Darul Qalam, 1977) 107
[6] Ibid, [6] Abdul wahab
Khallaf ilmu ushul fiqih (kaidah hokum islam)108
[7] Narun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:
Logos, 1996) cet 1, hal 114.
[8] Nazar Bakry, fiqih dan ushul
fiqih, hal 60-61
[9] Saifudin Nur, ilmu fiqih hal
57-58
[10] Muhammad abu zahrah, ushul
fiqih, hal 423-425.
[11] Abdul wahab khallaf, ilmu
ushul fiqih, hal 108
[12] Ibid, hal 110.
[13] Ibid, hal 114.
[14]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,
Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Pers, 2011, 262.
[15] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, hal.
141.
[16] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan
Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pers, 2011), hal. 260-261.
[17] Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul
Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 59.
[18] Masykur Anhari, Ushul Fiqih,
(Surabaya: Diantama, 2008), hal. 106-107.
[19] Masykur Anhari, Ushul Fiqih,
(Surabaya: Diantama, 2008), hal. 107-108.
[20] Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul
Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 59-60.
[21] Masykur Anhari, Ushul Fiqih,
(Surabaya: Diantama, 2008), hal. 109.
makalahnya sangat membantu saya... sesuai dengan mata kuliah saya.. matur nuhun, semoga bermanfaat
BalasHapusmantap
BalasHapus