PENDIDIKAN
ISLAM
Sebuah
dilema dan Prospek
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Etika dan Politik Pendidikan
Kelompok : 6
Dosen Pembimbing:
Drs. Yahya Aziz,
M.Pd.I
Di
susun Oleh :
Ani Masruroh :
Dwi Nurul
Hidayah : D31210076
Ahmad Roziqin :
Agus G A :
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Memasuki abad XXI atau milenium ketiga ini dunia
pendidikan dihadapkan pada berbagai masalah pelik yang apabila tidak segera
diatasi secara tepat, secara mustahil dunia pendiidkan akan ditinggal oleh
zaman. Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon
berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang
logis bahkan suatu keharusan. Hal yang demikian dapat dimengerti mengingat
dunia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam
mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan dalam
menyiapkan masa depan uamt mausia, adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan
kehidupan bangsa.[1]
Kenyataan dewasa ini, umat Islam di mana-mana dalam
keadaan lemah. Lemah dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ilmu,
teknologi, dan juga dalam bidang pendidikan. Tanpa mengabaikan segi-segi
lainnya, bidang pendidikan sesungguhnya mempunyai dampak berantai terhadap
kelemahan tersebut secara keseluruhan. Artinya, kelemahan umat Islam dalam
bidang pendidikan, jika dibiarkan terus-menerus, niscaya akan melestarikan
kelemahan dalam segi-segi kehidupan yang lainnya.[2]
Dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan mengenai prospek
dan masalah-masalah yang tengah dihadapi oleh pendidikan Islam di Indonesia,
yang mana sampai saat ini pendidikan Islam masih mengalami dilema.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan pendidikan Islam itu?
2.
Apa sajakah karakteristik dari pendidikan Islam ?
3.
Apa sajakah dilema atau masalah-masalah yang tengah
dihadapi pendidikan Islam saat ini ?
4.
Bagaimanakah prospek pendidikan Islam di masa kini dan mendatang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam
1. Definisi
Pendidikan Islam
Kata
“pendidikan” yang dilekatkan dengan kata “islam” telah didefinisikan secara
berbeda-beda oleh orang-orang sesuai dengan pendapat yang mereka pahami masing-masing,
akan tetapi secara umum pendidikan adalah “suatu proses dimana suatu bangsa
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan secara efektif dan efisien”[3].
Sedangkan Jhon Dewey tokoh pendidikan menyatakan, bahwa pendidikan adalah
“proses pembentukan kecakapan fundamental, secara intelektual dan emosional,
kearah alam sesama manusia”.berbeda halnya dengan Ki Hajar Dewantara beliau
menyatakan bahwa “pendidikan berarti upaya untuk memajukan budi pekerti
(batin), pikiran dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya”[4].
Secara umum, Pada dasarnya pendidikan lebih dari sekedar pengajaran, karena
dalam kenyataanyapendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau Negara
membina dan mengembangkan kesadaran diri antar individu. Oleh karena itu,
pendidikan benar-benar merupakan latihan fisik, mental dan moral bagai
individu-individu supaya mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga mampu
memenuhi tugasnya sebagai manusia dan menjadi warga Negara yang berguna/ manfaat
bagi suatu Negara.
Setelah
menguraikan pendidikan secara umum, selanjutnya masuk pada definisi pendidikan
islam, adanya
kata “islam” yang dihubungkan dengan kata “pendidikan” tentu menimbulkan
pengertian-pengetian baru dalam dunia pendidikan. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi
beliau memberi
pengertian “pendidikan islam sebagai: “pendidikan islam adalah pendidikan
manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
keterampilanya, karena pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik
dalm perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan
dan kejahatanya, manis dan pahitnya”. Senada dengan definisi dari Dr. Yusuf
Qardhawi, Pendidikan Islam dirumuskan Dr. Hasan Langgulung sebagai “proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan
nilai-nilai islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal didunia
dan memetik hasilnya diakhirat”[5].
Oleh
sebab itu pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan
ajaran-ajaran islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, melalui
proses pendidikan seperti individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang
tinggi supaya ia mampu menunaikan fungsingnya sebagi khalifah dibumi, dan
berhasil mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Secara
agak tekhnis Endang Syaifuddin Anshori mendefinisikan Pendidikan Islam adalah:
“proses bimbingan (pimpinan, tumtunan) oleh subjek didik terhadap perkembangan
jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dll) dan raga objek didik dengan
bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang kearah
terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran islam”[6].
Dari
beberapa uraian diatas dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara pendidikan pada
umumnya dengan pendidikan islam. Perbedaan utama yang paling menonjol adalah,
bahwa pendidikan islam bukan hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk
kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan akhirat, lebih dari itu,
pendidikan islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran
islam, sehingga pribadi-pribadi yang terbentuk itu tidak terlepas dari nilai
agama, seperti yang dikatakan Ahmad D. Marimba, “pendidikan islam adalah
bimbingan jasmani rohani, berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam”[7].
Meskipun
demikian, tujuan akhir dari pada pendidikan islam tidak lepas dari tujuan hidup
seorang muslim, pada hakikatnya pendidikan islam itu sendiri hanyalah suatu
sarana untuk mencapai tujuan hidup muslim, tujuan hidup muslim sebagaimana
difirmankan Allah SWT:
$tBur
àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
žwÎ)
Èbr߉ç7÷èu‹Ï9
ÇÎÏÈ
Artinya : “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (Qs al-Dzariyat: 56)
Tujuan
hidup Muslim sebagaimana dijelaskan pada ayat diatas, merupakan tujuan akhir
pendidikan islam yakni untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba tuhan yang
selalu brtakwa dan mengabdi kepada-Nya. Sebagai hamba allah yang bertakwa, maka
segala sesuatu yang diperoleh dalam proses pendidikan islam itu tidak lain
termasuk dalam bagian perwujudan pengabdian kepada Allah Swt.
2. Karakteristik
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan umum, meskipun
boleh jadi terdapat bebrapa persamaan, perbedaan itu tidak menjadikan
pendidikan islam rendah bila dibandingkan denngan pendidikan umum, tetapi
justru perbedaan-perbedaan itu membentuk karakteristik yang kemudian menjadi
identitas dirinya. Secara singkat karakteristik Pendidikan Islam adalah sebagai
berikut:[8]
Karakteristik Pertama, penguasaan Ilmu Pengetahuan. Ajaran dasar Islam
mewajibkan mencari ilmu pengetahuan bagi setiap muslim dan muslimat, setiap
rasul yang diutus Alllah lebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan, dan mereka
diperintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu.
Karakteristik Kedua, pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai
harus diberikan dan dikembangkan pada orang lain.
Karakteristik Ketiga, penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat dari pendidikan
islam terikat oleh nilai-nilai akhlak.
Karakteristik Keempat, bahwa penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan
hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum.
Karakteristik Kelima, penyesuaian kepada perkembangan anak. Sejak awal
perkembangan islam, pendidikan islam diberikan pada anak sesuai dengan umur,
kemampuan, perkembangan jiwa dan bakat anak. Setiap usaha dan proses pendidikan
haruslah memperhatikan faktor pertumbuhan anak.
Karakteristik keenam, adalah, pengembanagan kepribadian. Bakat alami dan
kemampuan pribadi tiap anak didik diberikan kesempatan berkembang sehingga bermanfaat
bagi dirinya dan masyarakat. Setiap murid dipandang sebagai amanah tuhan, dan
seluruh kemampuam fisik mental adalah anugerah dari tuhan.
Karakteristik ketujuh, adalah penekanan pada amal soleh dan tanggung jawab.
Setiap anak didik diberi semangat dan didorong untuk mengamalkan ilmu
pengetahuan sehingga bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat islam secara
keseluruhan. Amal salaeh dan tanggung jawab itulah yang menghantarkanya kelak
kepada kebahagiaan di kemudian hari.
Karakteristik- Karakteristik pendidikan islam diatas
seperti bisa dilihat, membedakanya dengan pendiikan lainya. Dengan
karakteristik itu eksistensi pendidikan islam ditengah pendidikan lain dapat
dilihat dan dibedakan dengan jelas, karena pendidikan mempunyai ikatang
langsung dengan nilai-nilai ajaran islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia.
B. Pedidikan Islam
(Sebuah Dilema dan Prospek)
1.
Problematika
Dasar Pendidikan Islam
Ketertinggalan
pendidikan Islam telah sedemikian parahnya. Hal ini mengundang keprihatinan
yang mendalam dan menyisahkan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan
faktor-faktor yang melatar belakangi keadaan tersebut.
Pada masa lampau pendidikan Islam pernah menjadi tumpuan utama
bagi masyarakatnya dan perkembangannya senantiasa seirama dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat pada masanya. Dalam catatan sejarah, dapat diketahui bahwa
pendidikan Islam bermula dari pengajian-pengajian di rumah-rumah penduduk yang
dilakukan oleh para penyebar islam yang kemudian berkembang menjadi pengajian
di langgar-langgar, masjid dan pondok pesantren. Pendidikan Islam memang dapat
diterima seiring dengan jalannya pertumbuhan Islam pada waktu itu.
Demikian
pula pada masa kolonial Belanda dan Jepang, sistim pendidikan Islam tetap
bertahan dan dapat menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan. Namun,
pasca era kemerdekaan sampai sekarang dinamika pertumbuhan sistim pendidikan
Islam cenderung menurun dan kurang dapat mengimbangi kebutuhan obyektif
masyarakat, sebagaimana yang dikatakan AM Saefuddin sebagai berikut:
“Pada masa selanjutnya muncullah bentuk madrasah dan upaya untuk memasukkan
materi pendidikan agama ke dalam kurikulum pendidikan umum yang didirikan oleh
kolonial Belanda. Pada masa selanjutnya, yakni ketika bangsa Indonesia memasuki
alam kemerdekaan, maka bentuk-bentuk sistim pendidikan Islam baik pesantren,
madrasah maupun disekolah-sekolah umum terus berlanjut, tetapi dengan
perkembangan yang tampaknya menunjukkan ketertinggalan dari perkembangan
masyarakatnya sendiri.”[9]
Namun apapun yang terjadi, cara pandang
yang terlalu merendahkan martabat pendidikan Islam jelas kontra produktif,
apalagi hal yang menjadi tolak ukur adalah kemajuan di Barat. Ketertinggalan
dalam pendidikan Islam haruslah dilihat sebagai tantangan. Orientasi ini
menjadi demikian penting agar terhindar dari munculnya problem baru yang lebih
serius. Artinya, apabila melihat ketertinggalan pendidikan Islam ini dengan
rasa rendah diri, maka dengan sendirinya telah mengawali problem baru.
2.
Identifikasi Problem Utama
Pendidikan Islam dipengaruhi oleh multifaktor, kondisi, dan problem yang
kompleks. Maju mundurnya teori dan praktek pendidikan Islam diakibatkan oleh
kompleksitas problem tersebut. Problem yang dimaksud berupa segala persoalan
yang inhern dalam pendidikan, yakni problem internal, maupun yang berada
di luar jangkauan bidang pendidikan, yakni problem eksternal yang secara tidak
langsung berpengaruh, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, etos kerja,
stabilitas politik, lemahnya penekanan hukum, dan lain-lain yang terkait dengan
bidang hukum, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Problem internal yang dihadapi oleh pendidikan Islam
meliputi melemahnya visi atau tidak jelasnya arah pendidikan yang dilaksanakan,
penekanan yang tidak seimbang antara pembentukan kepribadian yang utama dalam
diri seorang muslim dengan peranan sosialnya di tengah umat, di mana hal ini
menyebabkan timbulnya kesalehan dan ketaqwaan. Selain itu, problem epistimologi
pendidikan yang dikotomik antara ilmu-ilmu agama dengan umum, dan problem
paradigma berpikir normatif-deduktif masih lazim dijumpai dalam pendidikan
Islam secara umum, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Islam
lainnya.[10]
3. Problematika Institusional Kekinian
Perubahan sosial yang terjadi
secara simultan dalam masyarakat, pada gilirannya akan merangsang munculnya
berbagai permasalahan dalam lembaga pendidikan Islam, diantaranya adalah
problem lulusan LPI dengan tuntutan dunia industri, kualitas SDM dan lingkup
LPI, masalah keilmuan Islam yang dilematis dan ambivalensi penyelenggaraan
pendidikan Islam.
Semua hal tersebut merupakan
permasalahan-permasalahan yang sangat penting untuk segera dicarikan solusinya.
Namun, problem yang lebih mendasar untuk dipecahkan adalah dua persoalan
terakhir, karena kedua persoalan itu dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam pada masa kini maupun masa datang. Apabila kedua problem
tersebut kurang mendapat tanggapan dimungkinkan masa depan pendidikan Islam
hanya tinggal nama, karena telah ditinggalkan oleh masyarakat yang aktif
mengikuti perubahan.
a. Keilmuan
Islam yang Dilematis
Masalah keilmuan Islam secara historis prespective
dipengaruhi oleh dua arus besar yang menjadi tabir bagi upaya rekontruksi
pemikiran Islam secara umum dan pemikiran Islam secara khusus. Arus besar itu adalah
warisan ortodoksi pemikiran Islam dan masuknya positivisme kedalam metodologi
keilmuan Islam. Dampak dari warisan ortodoksi pemikiran Islam tersebut tidak
sekedar mewarnai bingkai-bingkai fiqh, tetapi juga memberikan akses negatif terhadap
epistemologi keilmuan dalam Islam, pintu ijtihad pun tertutup. dampak dari
stagnasi pemikiran tersebut membawa dunia Islam dalam rentang waktu yang cukup
lama hanya menghasilkan ilmu-ilmu yang isinya sebagian besar berbentuk elaborasi
(syarah, hasyiyah), termasuk dalam bidang penafsiran maupun dalam bidang
muamalat.
Dalam bidang penafsiran Islam memang
dapat memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metodenya.
Namun, sayang sebagian besar berisi pengulangan yang ada. Sebagaimana juga dijelaskan
Nasr hamid Abu Zaid tentang keadaan tersebut sebagai berikut: “pada saat ini
sikap dan wacana keagamaan kontemporer terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an dan
demikian pula ilmu-ilmu hadis adalah sikap pengulangan. Hal ini terjadi karena
diantara ulama ada yang mempunyai asumsi bahwa dua tipe ilmu tersebut masuk dalam
ilmu yang sudah matang dan sudah
selesai, sehingga generasi kemudian tidak lagi memiliki apapun seperti yang
dimiliki oleh generasi tua”.[11]
Nasr hamid Abu Zaid menambahkan bahwa
stagnasi pemikiran di dunia Islam ini dipengaruhi oleh apa yang disebutnya sebagai
peradaban teks (Hadharah al-Nash).[12]
Peradaban teks menurutnya merupakan sebuah peradaban dimana teks menjadi
semacam poros penggerak serta sekaligus sebagai pembentuk pengetahuan. Dalam
peradaban demikian, tafsir teks menjadi semacam kebutuhan utama dari
waktu ke waktu senantiasa mewarnai tiap jengkal deretan sejarah Islam. Oleh
karena itu, Islam dapat memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai
corak dan metode, mulai dari tahlili sampai maudhu’i.
Peradaban demikian akhirnya membawa
implikasi luas serta memungkinkan terciptanya kultur yang serba berdimensi teks,
termasuk dalam memandang kebenaran. Kebenaran selalu diukur dengan letterleks teks,
tidak ada kebenaran di luar itu. Sekalipun manusia memungkinkan dapat
memperoleh kebenaran sendiri melalui pencarian dengan daya nalarnya, ia tetap
harus selalu mendapat rujukan dari teks. Kalau ia gagal dalam merujuk, maka apa
yang dikatakan nalar sebagai kebenaran gagal pula. Sedangkan dampak kedua arus
tersebut dalam dunia pendidikan Islam adalah terjadinya transformasi pada
paradigma ilmu pendidikan Islam beserta epistemologinya dari Islamic
education of islamic menjadi Islamic education for Moslem.
b. Ambivalensi (dikotomi)
Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Sistim pendidikan Islam sampai saat ini
dirasa masih bersifat ambivalensi. Sifat ambivalensi yang dimaksud adalah model
penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia mengalami ketimpangan, dimana di
satu pihak pendidikan agama yang diterapkan disekolah-sekolah umum hanya
sekedar pelengkap, sedangkan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan pada
sistim pendidika Islam (pesantren) kurang mengembangkan penguasaan disiplin
ilmu (sains dan teknologi) dan
keterampilan. Ada anggapan yang berkembang selama ini bahwa penguasaan disiplin
ilmu dan keterampilan hanya garapan sistim pendidikan umum.
A. M Saefuddin menjelaskan bahwa sistim
madrasah dan apalagi sekolah dari PT Islam yang membagi porsi materi pendidikan
Islam dan materi pendidikan umum dalam prosentase tertentu telah terbukti mengakibatkan
bukan saja pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya kepada tujuan
Islam yang membentuk manusia takwa, tapi juga tidak mencapai tujuan pendidikan
Barat yang bersifat sekuler. Sementara itu keadaan pendidikan Islam di sekolah
PT umum, lebih jelas diketahui sebagai lebih banyak hanya berfungsi sebagai pelengkap
yang menempel bagi orientasi pendidikan
sekuler.
Keadaan itu timbul akibat adanya pandangan
dikotomi yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini jelas bertentangan
dengan konsep ajaran Islam yang mengajarkan kesatuan dunia-akhirat, dimana
ilmu-ilmu dunia adalah bagian dari ilmu-ilmu agama yang tidak boleh dipisahkan
dengan pandangan dikotomis serta orientasi yang ambivalen. Apabila keadaan ini
tetap dibiarkan, maka dapat dipastikan sistim pendidikan Islam hanya akan
menghasilkan lulusan-lulusan yang makin jauh dari cita-cita pendidikan Islam
sendiri.
Perbedaan itu terjadi karena, selain
sumber dan medan garapan berbeda, juga adalah perbedaan titik tolak. Jika ilmu
agama berangkat dari sebuah kepercayaan, ilmu umum berangkat dari keraguan.
Sekalipun anggapan ini sesungguhnya tidak seluruhnya benar, karena masing-masing
menyisakan pelbagai persoalan metodologis di dalam menemukan kebenaran sejati.
Mengembalikan pemahaman parsial adanya dualitas
keilmuan ini ke arah integrasi kiranya membutuhkan keberanian serius dari
pelbagai kalangan, pembacaan ulang visi, misi dan orientasi sistim pendidikan adalah
suatu yang urgen bila tidak ingin terjebak pada pengulangan tradisi yang tak memiliki kemampuan menjawab
persoalan-persoalan kekinian dan masa depan. Sekalipun persoalan yang mendasar
bukanlah terletak pada dikotomi dan integrasi, melainkan pada bagaimana
menanamkan pemahaman holistik (kaffah) terhadap ajaran agama yang universal
dan kosmopolit. Karena didalam ilmu sebenarnya tidak mengenal dikotomi dan
disentegrasi, melainkan spesialisasi-spesialisasi yang berkembang semakin
cepat, kompetitif dan berkualitas.
Al-Qur’an sebagai kitab rujukan umat Islam
sesungguhnya tidak mengenal dikotomi. Al-Qur’an justru menginstruksikan kaum beriman
untuk senantiasa ber-tafakkur (QS. Ali-Imran (3): 189-190) dan ber-tasyakkur
(QS. An-Nahl (16): 114. Perintah memikirkan segala ciptaan Tuhan di langit dan
di bumi melalui hukum-hukum-Nya di dalam al-Qur’an mengandung pengertian bahwa
sains merupakan jalan untuk mendekati kebenaran Tuhan.
Jadi, orientasi sains dan teknologi
sesungguhnya merupakan instruksi utama al-Qur’an bagi terbentuknya ulul
al-bab, yaitu seseorang yang dengan fikir dan zikirnya mampu melahirkan
gagasan-gagasan imajinatif bagi peradaban manusia dan lingkungannya, disamping memberikan
penekanan pada nilai dan moral. Dengan demikian, tetaplah harus ditegaskan
bahwa tanpa landasan nilai-nilai agama, maka ilmu pengetahuan dan teknologi
justru akan menjadi bumerang bagi manusia sendiri, karena itu persoalan kini
adalah bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dapat menjadi milik yang
dapat dikembangkan tanpa merasa khawatir akan efek bumerang dan terpecahnya
kepribadian manusia oleh pandangan-pandangan dikotomis.
Jalan
yang kini terlihat menjadi titik terang adalah dengan melakukan proses
Islamisasi sains dan teknologi. Kondisi semacam ini tentu saja harus dibaca
sebagai tantangan yang harus segera diantisipasi secara lebih matang dan
terencana serta dituntut untuk memunculkan inovasi-inovasi baru dan mendalam
dari masyarakat akademik maupun yang lainnya, agar pendidikan Islam tetap bisa
diterima oleh masyarakat yang juga terus menerus berubah.
Sejalan formulasi dan pemikiran kehidupan
manusia tidak bisa dilepaskan dari ikatan-ikatan konteks lingkungan, seperti
politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama, disamping
unsur internal seperti bakat dan potensi yang merupakan unsur ketergantungan
eksistensi pendidikan Islam. Imam Tholkhan berpendapat bahwa problmatika
pendidikan Islam kini dan masa datang, antara lain: Pertama, kurangnya
kemampuan para lulusan (out puts) dari lembaga- lembaga pendidikan
Islam, madrasah, pesantren serta perguruan tinggi Islam di dalam menelaah
teks-teks klasik secara utuh yang sebenarnya merupakan bagian integral dari
kajian pokok yang harus dipelajari. Para lulusan madrasah, pesantren dan
perguruan tinggi Islam tidak jarang tercerabut dari akar-akar tradisi, nilai
dan kepercayaan yang dianutnya. Kedua, tidak semua lulusan lembaga
pendidikan Islam mampu melaksanakan fungsi-fungsi layanan terhadap umat Islam,
tak terkecuali hal yang paling mendasar dan memasyarakat seperti memimpin
berbagai ritual keagamaan. Ketiga, adanya kecenderungan lulusan lembaga pendidikan
Islam hanya berpikir normatif atau cenderung berpikir melalui kaedah keagamaan
(deduktif) dan kurangnya mereka memahami kontek dan substansi empiris dari
persoalan-persoalan keagamaan dan sosial yang dhadapi (induktif). Keempat,
sistim pendidikan Islam yang ada sampai dewasa ini masih dinilai belum bisa
menghasilkan manusia-manusia kompetitif di era global yang didominasi oleh ilmu
pengetahua dan teknologi. Kelima, posisi pendidikan Islam selalu
diletakkan pada posisi marginal atau under class. Keenam, para lulusan lembaga
pendidikan Islam belum terlatih untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman
yang baru, baik dalam konteks kultur nasional maupun antar kultur, sebaliknya
mereka hanya terlatih untuk menghafal dan mengulangi kembali pengetahuan yang
baku dan kaku yang keberadaannya kurang relevan dengan perkembangan situasi dan
kondisi. Ketujuh, para lulusan lembaga pendidikan Islam cenderung
bersifat eksklusif dan belum mampu bekerja secara profesional. Kedelapan,
adanya stigma bahwa lembaga pendidikan Islam itu sektarianisme yang dibungkus
dengan kerangka ideologis, paham, dan kepercayaan serta kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kesembilan, sistim
pendidikan Islam cenderung milik perseorangan
atau kelompok tertentu dari pada milik bersama atau masyarakat.
Malik Fajar berpendapat bahwa untuk
memecahkan problematika dunia pendidikan Islam sebagaimana digambarkan
tersebut, maka perlu mengadakan konsep pendekatan, sebagai berikut:
1. Macrocosmis (tinjauan makro),
yakni pendidikan Islam dianalisi dalam hubungannya dengan kerangka sosial yang
lebih luas.
2. Microcosmis (tinjauan mikro),
yakni pendidikan Islam dianalisis sebagai satu kesatuan unit yang hidup di mana
terdapat interaksi di dalam diri sendiri.[13]
Hal ini berdasarkan surat Keputusan Bersama Tiga Menteri.
Dan beliau menambahkan bahwa untuk
menatap masa depan pendidikan Islam di Indonesia yang mampu memainkan peran
strategisnya bagi kemajuan umat dan bangsa, perlu ada keterbukaan wawasan dan
keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar serta
menyeluruh. Hal yang mendasar tersebut, antara lain: (a) kejelasan antara yang
dicita-citakan dengan langkah operasionalnya (b) penguatan
dibidang sistim kelembagaannya (c) perbaikan/pembaruan
dalam sistim pengelolaan atau manajemennya. Kalau ketiga hal ini bisa dibenahi,
maka dunia pendidikan Islam akan terhindar dari kesibukan “semu” dan
setahap demi setahap akan bisa memenuhi pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib
r.a “Didiklah anak-anak kalian dengan hal-hal yang tidak seperti yang kalian pelajari diajarkan.
Sesungguhnya mereka itu diciptakan dalam zaman yang berlainan dengan zaman
kalian. Artinya, suatu lembaga pendidikan harus membentuk wadah akomodatif
terhadap aspirasi masyarakat pendidikan yang berorientasi ke masa depan.
C. Prospek
Pendidikan Islam Masa Kini dan Masa Datang
Meyakini pendidikan sebagai upaya
yang paling mendasar dan strategis sebagai wahana penyiapan sumberdaya manusia
dalam pembangunan (dalam arti luas) tentunya umat Islam yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia terutama kaum cendikiawan harus terpanggil untuk
menjadi pelopor. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi dasar pembenaran,
yaitu:
1. Dari segi ajaran agama, Islam telah menempatkan
penguasaan ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk meraih keunggulan hidup. Pandangan
semacam ini amat ditaati oleh manusia modern dewasa ini, terutama mereka yang
bukan Islam. Yaitu untuk meraih keunggulan kehidupan duniawi. Sedangkan Islam
lebih dari itu, yaitu bahwa penguasaan ilmu pengetahuan itu
sebagai mediator untuk menuju keunggulan dua kehidupan sekaligus, yaitu kehidupan
duniawi dan kehidupan ukhrawi. Deskripsi ini amat jelas kalau merujuk kepada
sabda Rasulullah SAW: Barang siapa yang ingin unggul di dunia, harus dengan
ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul di akhirat, harus dengan ilmu. Dan
barang siapa yang ingin unggul pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu (HR.
Ahmad)
2. Dalam
perkembangan sejarahnya, Islam telah cukup memberikan acuan dan dorongan bagi
kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan, adanya mata rantai yang erat antara kemajuan
ilmu pengetahuan yang dicapai oleh dunia Barat dewasa ini dengan kemajuan di
bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sebelumnya pernah dicapai oleh dunia Islam.
Karena memang diyakini oleh dunia bahwa Islamlah yang mula-mula menyebarkan
pemikiran Yunani klasik yang menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Barat dewasa ini. Adapun faktor penyebab adopsi sains dunia Islam
oleh dunia Barat adalah karena mereka melakukan gerakan penerjemahan para
sarjana Islam terhadap karya Yunani klasik. Dan yang kalah pentingnya, yaitu
terjadinya pemurtadan terhadap filosof Islam lantaran menggandrungi
pemikiran Yunani klasik tersebut.
3. Umat
Islam Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya. Lembaga yang
dimiliki ini adalah termasuk “Bank” sumber daya manusia yang tak ternilai
harganya. Memang masalahnya kepada umat Islam itu sendiri, yaitu seberapa jauh
mereka mampu mengangkat ajaran Islam dan sekaligus menjadikan
lembaga-lembaga pendidikannya sebagai wahana penyiapan sumber daya pembangunan.
Untuk itu, kiranya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus semakin menyadari
akan posisinya dalam upaya membuat satu komitmen strategi, yaitu menjadikan
dirinya sebagai “Bank” sumber daya manusia itu.
Disamping itu dalam era
globalisasi ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih
terbuka dan saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan
globalisasi itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam
aspek kehidupan manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan
sebagainya.
Adapun
peluang sistim pendidikan Islam di Indonesia, antara lain:
a. Sistim pendidikan Islam Indonesia tidak
mendominasi sistim pendidikan Nasional, karena ajaran Islam secara filosofis
tidak bertentang dengan filosofis hidup bangsa Indonesia. Dalam konsep
penyusunan sistim pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan peraturan
pemerintah yang menggiringnya terbuka kesempatan yang luas untuk mengembangkan
diri.
b. Pancasila sebagai asas bernegara
secara filosofis menjadi landasan filsafat pendidikan.
c. Semakin berkembangnya gerakan pembaharuan
pemikiran di Indonesia, maka lahirlah ICMI secara politis dijadikan sarana baru
untuk memperkokoh wacana tersebut.[14]
Dengan demikian dilihat dari segi ajaran
maupun sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia menjadi sub
sistim pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara
politik pendidikan Indonesia menempati posisi yang aman,
sehingga yang perlu saat ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar
tetap superior sebagaimana yang telah dicapai pada zaman klasik.
Perlu
disadari bahwa pendidikan tidak berdirisendiri, tanpa upaya bidang-bidang lain
yang secara sistemik harus bergerak secara secara harmonis menuju tujuan yang
sama, yakni cita-cita nasional. Maka, kearifan dan keahlian dalam bekerja sama
dengan pelbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu dan aliran sangat diperlukan.
Adapun suatu kenyataan pula bahwa banyak kaum “non-muslim” yang mampu menapak
kehidupannya sesuai dengan ajaran Islam. demikian pula sebaliknya. Banya
perilaku kalangan “mualim” yang justru tidak Islami. Yang diperlukan kaum
Muslim saat ini adalah jiwa besar, pandangan luas, dan sikap rasional serta
terbuka untuk menerima kritik demi kemajuan.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Nata Abuddin, Manajemen Pendidikan, Jakarta
: Kencana, 2007.
Bawani Imam, Segi-segi Pendidikan Islam, Surabaya
: Al-Ikhlas, 1987.
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim &
Pendidikan Islam. PT Logos Wacana Ilmu,1999.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Al-Ma`arif,
Bandung, 1980.
Anshori,
Endang Syaifuddin, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta: Usaha
Interprises, 1976.
Dewantara
KiHajar, Masalah
Kebudayaan
:Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, Yogyakarta,
1967.
Langgulung
Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Penddikan Islam, Bandung; al-Ma`arif,
1980.
Sahrodi Jamali,
dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005.
Assegaf Abd Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 20011.
Abu Zaid Nasr
hamid, Tekstualitas Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LKIS., 2001.
Fajar Malik,
Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta : LP3NI, 1998.
Arifin, Kapita
Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta : Bumi Aksara,
2000.
Mastuhu. Memberdayakan sstem Pendidikan Islam. Jakarta
: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 1999.
[1]
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2007), hal.
159-160.
[2]
Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, ( Surabaya : Al-Ikhlas,
1987), hal 47.
[3]
Azyumardi Azra. Esei-esei Intelektual Muslim &
Pendidikan Islam. PT
Logos Wacana Ilmu,1999. hal,3
[4] KiHajar Dewantara. Masalah Kebudayaan :Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa,
(Yogyakarta,
1967),
hal.42
[5]
Hasan Langgulung, Beberapa
Pemikiran tentang Penddikan Islam, (Bandung; al-Ma`arif, 1980), hal.94
[6]
Endang Syaifuddin Anshori, Pokok-pokok
Pikiran tentang Islam, (Jakarta: Usaha Interprises, 1976), hal.85
[9] Jamali Sahrodi, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah
Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: Pustaka Rihlah Group,
Yogyakarta, Desember, 2005), hal. 136
[10]
Abd. Rachman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam. ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 20011 ) hal.
19-24.
[11] Nasr hamid Abu Zaid, Tekstualitas
Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Penerbit: LKIS. Yogyakarta,
2001), hal. 4
[12]
Ibid, hal 1.
[13] Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit:
LP3NI, Jakarta, Oktober, 1998), hal. 3
[14] Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Cet. IV,
(Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta, 2000), hal. 107
[15] Mastuhu. Memberdayakan
sstem Pendidikan Islam. (Jakarta : PT. LOGOS Wacana Ilmu, 1999) hal. 41-42.